Siberut Utara, Si Cantik yang Terbuang dalam Pembangunan
Tidak pernah terlintas
dipikiranku untuk menginjakan kaki di tanah suku Mentawai ini. Bahkan
beberapa hari sebelum keberangkatan aku masih mengotak-atik jawaban
antara iya dan tidak dalam otakku untuk turut serta dalam Ekspedisi Siberut 2012 yang dilaksanakan oleh LAWALATA-IPB, yakni organisasi perkumpulan mahasiswa pecinta alam di Institut Pertanian Bogor. Pulau
Siberut mungkin hanya dikenal karena surganya para Surfer mancanegara.
Ya, jauh-jauh bule-bule tesebut menyambangi indahnya ombak terbaik di
dunia ini di Pantai Barat Daya, Pulau Siberut. Namun, dalam ekspedisi ini aku tidak mengkaji indahnya ombak yang begitu gagah membiarkan para surfer itu
berlenggak-lenggok diatasnya. Aku datang ke pulau Siberut untuk
belajar. Belajar mengenai masyarakat yang tinggal di daerah dengan
tingkat kerawanan bencana yang tinggi seperti Siberut ini.
Pulau Siberut merupakan pulau
terbesar yang terdapat di Kepulauan Mentawai. Bersama Siberut terdapat
pulau Sipora, Sikakap, Pagai Utara, Pagai Timur dan lain-lain. Untuk
sampai di Siberut Utara kita membutuhkan waktu yang cukup lama. Dari
Padang, kita membutuhkan waktu sekitar 12 jam untuk sampai di Siberut
Selatan dengan menggunakan KM.Sumber Rezeki yang menurutku kurang layak
untuk dijadikan alat transportasi dengan jarak tempuh yang lebih dari 70
km ini. Jalur laut yang biasanya digunakan
agar kita sampai di kepulauan Mentawai. Biasanya kapal dari Padang
memilih melakukan perjalanan pada sore hari dan sampai di Pulau Siberut
pada pagi hari. Kapal kayu yang tidak begitu besar ini sempat membuat
jantungku berdegup kencang. Hentakan ombak yang cukup besar membuat
kapal kayu ini bergoyang-goyang diatas ombak. Desiran angin malam pun
memaksa sebagian penumpang masuk ke dalam kapal. Namun, aku beserta 13
orang tim ekspedisi ini memilih untuk tetap tinggal di luar kapal
dibagian dek belakang. Angin semakin kencang dan ombak pun semakin
menggila. Kapal kayu yang aku tempati kembali bergoyang, sekarang aku
dapat merasakan ganasnya ombak di Selat Mentawai. Aku menarik tangan dan
mendekap kaki seraya mendekatkan diri ke dinding kapal dengan kantong
keresek hitam ditangan. Entah perasaanku karena merasa pusing atau
memang kejadian yang sebenarnya, kapal kayu ini seperti hendak terbalik
sehingga bule yang sedang tidur pun terbangun karena jatuh. Aku sempat
berpikiran kapal ini akan terbalik dan aku akan langsung mengambil
pelampung yang dikaitkan diatas. Namun, semua kerunyaman dikapal itupun
berakhir senada dengan berakhirnya badai tersebut. Menurut salah seorang
pemandu turis, badai kali ini termasuk badai yang cukup besar dan baru
kembali terjadi setelah 2 tahun belakangan ini. Sekitar pukul 3 pagi aku
sampai di Siberut Selatan. Aku bersama tim ekspedisi tidak langsung
turun dari kapal, kami sejenak memejamkan mata kembali untuk
mengumpulkan energi. Entah berapa jumlah kantong keresek yang aku
gunakan, tetapi kejadian tadi
malam menyudutkanku pada peristiwa 2 tahun silam ketika tsunami yang
begitu ganasnya menyapu bersih pulau Sikakap dan menelan banyak korban
serta menjadi duka nasional. Syukurlah, aku bersama tim telah sampai di
Muara Siberut. Kami turun dari kapal membawa perbekalan yang tidak
sedikit. Satu orang membawa satu ransel 80 liter yang sisinya logistik tim serta satu buah daypack
yang isinya peralatan pribadi. Kami singgah disebuah rumah makan
sederhana yang jaraknya hanya beberapa meter dari pelabuhan. Kami
mengisi perut sambil mengobrol mengenai kejadian tadi malam. Sejenak aku
tertawa mengingat kejadian tadi malam. Sungguh, mahadahsyat sekali sang
pencipta menciptakan alam yang begitu menyimpan fenomena luar biasa.
Tidak sampai satu hari aku menginjakan kaki di Siberut Selatan karena
siang harinya aku dan tim ekspedisi langsung melakukan perjalanan ke
Siberut Utara menggunakan speed boat. Membutuhkan waktu sampai 4
jam untuk sampai di Siberut Utara. Pemandangan laut yang begitu luar
biasa. Hiasan lukisan bawah laut yang aku lihat selama perjalanan
menyita perhatianku. Sesekali kami bersenandung untuk memperindah
suasana. Ditemani halusnya sapaan ombak yang begitu indah menyenggol speed boat kami.
Sekitar empat jam menyilakan kaki dalam speed boat
akhirnya aku sampai di Muara Sikabaluan. Perkampungan pertama yang aku
singgahi di Siberut Utara. Aku melihat keadaan sekitar yang jauh berbeda
dengan kondisi di Padang. Rumah-rumah sederhana berjejer rapi menyambut
kedatanganku. Sebuah plang MTS yang sudah kusam dan mungkin beberapa
waktu lagi akan jatuh ke tanah karena tiupan angin semakin
mengisyaratkan ada sesuatu yang terjadi di tanah ini. Aku mengernyitkan
dahi ketika suara anjing menyapa ku dipinggir jalan. Kami berjalan
menuju pondok kerja Taman Nasional Siberut yang akan menjadi tempat
tinggal sementara kami di Siberut Utara sebelum melakukan kegiatan. Akhirnya
tanggal 3 Juli 2012 kegiatan ekspedisi di Siberut pun dimulai. Tim
dibagi menjadi dua, yakni tim pengamatan primata dan tim kajian sosial
ekonomi dan budaya masyarakat. Aku termasuk tim kajian sosial ekonomi
dan masyarakat bersama Rere dan Ayu. Sementara sepuluh orang sisanya
melakukan pengamatan primata simakobu di daerah Bekemen. Tim sosial
ekonomi dan budaya akan mengkaji di tiga desa, yakni desa Sotboyak,
Bojakan, dan Mongan Poula.
Desa pertama yang kusinggahi yakni desa
Sotboyak. Membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk sampai di desa teladan
ini. Namun, jalur darat yang kulewati ternyata tidak semulus yang
diharapkan. Jalannya pun sangat curam ditambah kondisi jembatan yang
sudah tidak layak untuk dipakai sehingga beberapa kali aku harus turun
dari motor agar tidak terjatuh ke sungai. Tiga hari dua malam aku di
desa Sotboak. Selanjutnya aku bergerak ke desa Bojakan. Untuk sampai di
Bojakan kita hanya bisa menggunakan pong-pong. Tidak ada jalur darat
untuk sampai di desa dengan tingkat kecurigaan masyarakatnya yang masih
tinggi terhadap pendatang ini. Rumah-rumah sederhana berjejer rapi
menyambut kedatanganku. Beberapa anak dengan pakain lusuh menyita
perhatianku. Seperti apakah kehidupan di desa ini ? Apakah lebih maju
dari desa Sotboyak yang kukunjungi beberapa hari lalu? Ataukah lebih
buruk ?.
Sore hari, kusempatkan untuk berkeliling
desa. Desa dengan jumlah kepala keluarga sekitar 84 ini tidak begitu
luas. Suara riuh pemuda desa yang sedang bermain voli membuat suasana
agak ramai. Celotehan anak-anak dengan pakaian lusuhnya membuatku
menundukan kepala. Kulihat jemuran yang mewarnai di setiap rumah hanya
tampak beberapa pakaian lusuh. Kondisi rumah yang sangat sederhana jauh
dari kesan cukup. Malam harinya, di desa ini pencahayaan hanya pada
beberapa rumah saja. Menurut informasi ang kudengar hanya ada empat
genset di desa Bojakan ini. Kondisi pendidikan pun harus menjadi bahan
rapat para petinggi di jakarta, hanya ada satu SD dan satu TK.
Kesehatanpun tidak jauh berbeda, hanya ada satu puskesmas pembantu dan
satu bidan untuk melayani masyarakat desa Bojakan. Desa terakhir yakni
desa Mongan Poula. Namun, dari ketiga desa yang sempat aku singgahi,
Bojakanlah yang memberikan stimulasi yang luar biasa padaku.
Sekitar 10 hari di Siberut Utara,
memaksaku untuk kembali berpikir dalam sebuah fantasi tentang arti
kehidupan. Antara perasaan bersyukur atau berkufur atas semua nikmat
Tuhan. Siberut Utara memberiku banyak pengetahuan tentang perjuangan, keikhlasan, kesederhanaan termasuk ketidakadilan. Kehidupan sederhana disini mampu mengoyak otakku untuk selalu menyambangi sebuah pemikiran logis akan nilai kehidupan diatas keserhanaan.
Komentar
Posting Komentar