TUA?
“Bukankah
menjadi tua itu pasti? Wajah yang menjadi keriput, tubuh yang semakin lemah,
bahkan ingatan yang akan menjadi pikun. Lalu, apa yang telah aku siapkan untuk
hari tuaku? Aku merenung, aku khawatir, aku menjadi tua dan semakin tidak
berguna, semua orang akan meninggalkanku dan tidak akan menghiraukanku karena
selagi muda aku tak memberi banyak manfaat bagi orang banyak. Aku takut menjadi
tua dengan rutinitas semu selama ini. Pergi bekerja, bekerja, pulang bekerja
lalu istirahat, hal itu berulang keesokan harinya dan terus-menerus. Aku
khawatir itu terjadi padaku. Aku takut rutinitas akan membelengguku menjadi robot.
Maka malam kemarin, ketika terbangun malam hari karena tertidur tidak sengaja
selepas magrib, aku buru-buru menulis sesuatu di dalam buku cokelatku. Aku
harus “bla bla bla bla”. Aku takut. Aku takut hatiku benar-benar mati untuk
bahagia hanya karena rutinitasku mencari uang. Aku takut, rutinitasku
menjauhkanku dari orang-orang tersayang. Aku harus punya waktu untuk mereka.
Aku menundukan kepala”
Tua. Setiap
manusia akan menjadi tua. Dari penampilan fisik saja akan jelas terlihat
perbedaan orang yang sudah tua. Mata yang semakin tidak awas, wajah yang
keriput, tubuh yang semakin lemah, rambut yang memutih, dan ingatan yang
menjadi pikun. Perenungan ini terjadi ketika aku hendak pergi ke tempatku
bekerja, aku melihat ke kantor sebelah dimana kantorku berada. Beberapa orang
yang sudah sepuh melakukan olahraga senam pagi. Tidak ada gerakan yang
atraktif, goyang ke kanan, goyang ke kiri dengan halus, memalingkan wajah kanan
kiri lalu kembali bergoyang. Aku berhenti sebentar dan mencoba menikmati apa
yang aku lihat di depan mata. Saban waktu berjalan ke ruang kerja aku masih
memikirkan hal itu.
Usiaku 22 tahun
lebih 4 bulan. Umur yang belum juga dianggap matang namun terlalu tua juga jika
dianggap masih remaja. Semacam masa peralihan karena aku masih memilah-milah
nanti aku akan seperti apa, termasuk bagaimana sikapku terhadap suatu kondisi.
Aku sering coba-coba, bagaimana aku akan berperilaku dalam suatu kondisi, dan
memang aku belum menemukan mana sebenarnya caraku. Bahkan bisa saja aku
mengadopsi cara orang lain, sehingga jelaskan berarti hal tersebut bukanlah aku
tapi orang lain.
Aku punya banyak
impian, saking banyaknya aku terlalu sibuk menulis dan lupa merealisasikan. Ini
yang kurang baik, harusnya aku melakukan weekly planning. Seketika keinginanku
sejak kuliah dulu kembali datang. Dulu ketika aku ditanya ingin ekspedisi
kemana, sontak aku menjawab “Cartenzs”. Dan dari sana aku punya impian mendaki
gunung es dengan suamiku kelak. Hal yang gila memang, tapi aku berpikir
bagaimana aku akan memberi nilai dalam hidupku ini. Jika aku hanya berpikir
bagaimana mengumpulkan pundi-pundi uang dari pagi sampai malam lalu keesokannya
kembali dengan rutinitas seperti itu aku akan benar-benar menjadi robot. Aku pikir,
selain bekerja aku harus mempunyai impian lain. Dimana uang hasilku bekerja aku
gunakan untuk membuat jiwaku tetap hidup. Dengan apa? Aku ingin mendaki gunung
es sebelum usia 50 tahun. Entah itu Cartenz atau Elbrus. Dua gunung itu aku
tulis semenjak aku kuliah. Sungguh aku tidak berminat untuk mendaki Everest,
tau diri lah siapa aku ini. Maka dari itu, aku berpikir aku harus bekerja
dengan “cerdas”. Dan aku akan memulai di awal karirku ini. Aku akan bekerja
dengan giat dan juga cerdas, tidak usah keras-keras.
Aku kadang
bingung dengan orang-orang yang bekerja lembur sampai malam. Apa yang terjadi
dengan mereka? Apakah aku juga akan mengalaminya suatu saat nanti? Aku harap
tidak. Sudah aku putuskan bahwa waktu bekerjaku tidak boleh mengganggu waktu
istirahatku. Maka aku bertekad untuk menyelesaikan apa yang harus dikerjakan di
kantor selama rentang waktu jam 8 sampai jam 5 sore. Sisanya, aku harus
istirahat. Itu sudah prinsipku.
Kenyataannya,
terkadang aku masih terbangun menatap layar laptop sampa jam 12 malam. Kenapa
hal itu terjadi? Kalian tahu, apa yang membuat aku semakin hidup? Aku menyukai
dunia tulis – menulis. Aku bermimpi menjadi seorang penulis yang bukunya
menjadi best seller internasional. Mungkin orang-orang yang aku ajak bicara
mengenai mimpi ini akan berkata, “Gila lo, mana bisa.”, tapi ada juga yang
mengatakan, “Usaha dulu, lo yakin dulu aja.”, dan juga ada yang bilang, “Hahahah”.
Aku tidak peduli. Aku menulis karena aku paham aku akan menjadi tua dan lupa.
Maka, bisa saja suatu hari nanti salah satu tulisanku akan dikenal oleh banyak
orang. Who knows?
Kembali lagi “menjadi
tua”.
Sesungguhnya
hidup hanya satu kali, dengan apa kita akan membuat hidup ini bernilai?
Komentar
Posting Komentar