Sebuah Perenungan Malam 19 Juli 2016
Jam 21.02
Tetiba
handphone saya berbunyi, tandanya ada panggilan masuk. Bukan nomor telepon
asing, kontaknya saya namai ‘Rumah Emak’, artinya telepon tersebut merupakan
panggilan dari Kakek atau Nenek saya. Saya agak terkejut, karena ini sudah
malam dan tetiba ada telpon dari rumah Kakek dan Nenek saya, biasanya jam 9
saja rumah sudah gelap, artinya sudah pada tidur karena sudah sepuh juga.
Beberapa detik bertanya-tanya, saya menjawab teleponnya, “Halloo Mak.”,
kebiasaan saya memanggil Nenek saya dengan sebutan ‘Emak’ (Nenek dalam bahasa
sunda) dan memanggail Pak Haji atau Paji pada Kakek saya. Dari kejauhan Nenek
saya pertanya menanyakan, “Sedang apa?”, saya menjawab dengan girang, “Ngerjain
tugas.”, lalu saya bertanya mengenai tetumben sudah malam menelpon, ada apa
gerangan? Lalu dengan santainya, Nenek saya menjawab “Kangen” lalu beliau
seperti menangis, seperti biasa Nenek saya ini sering kali menangis ketika
menelpon, apalagi ketika saya hendak pamit menuju Bogor atau Jakarta. Lalu saya
bertanya, “Sedang apa?”, dijawablah “Sedang nonton TV”, seperti biasa saya
selalu meminta doa, “Doain yak Mak,”, dan seperti biasa juga beliau menjawab, “Iya
atuh selalu didoain.”, percakapan pun selesai ditutup dengan “Asalamualaikum”.
Saya
bukanlah orang kaya, saya lahir dari keluarga sederhana, Bapak saya bekerja sebagai
guru begitupun Ibu. Dan Nenek saya adalah Ibu rumah tangga sedangkan Kakek saya
adalah pensiunan guru. Kata Bapak, ketika saya tidak berada di rumah Kakek saya
selalu bertanya, “Kapan pulang, kapan pulang.”, Kakek saya bukanlah tipe
laki-laki yang romantis, kalau menelpon singkat-singkat, kadang saya yang
kurang ajar menelpon ketika meminta uang buat jajan saja.
Tidak dapat
dipungkiri, malam ini saya begitu larut dalam sebuah perenungan. Bagaimana
Tuhan memberikan saya orang-orang terbaik yang harus saya jaga dan saya
bahagiakan. Lebaran kemarin, saya belum bisa memberikan banyak untuk mereka,
saya baru bekerja dua bulan, saya mencoba membelikan baju koko untuk Kakek saya
dan sebuah kerudung untuk Nenek saya, tahu apa yang membuat saya bahagia? Kakek
saya tersenyum tersipu malu, beliau sangat jarang tersenyum karena memang
orangnya sangat cuek sekali, tapi urusan uang, entah kenapa tidak pernah ada
kata ‘tidak’ untuk saya. Sampai ketika saya akan kembali bekerja, mau tidak mau
saya harus membawa kardus besar yang isinya dari beras, daging, sampai kue-kue
yang harus saya bawa katanya buat bekal di kosan. Saya percaya pepatah, “Orang
yang menyayangi kita akan memberikan apapun yang terbaik untuk kita”, awalnya
saya menolak karena saya pikir saya beli beras di kosan saja karena berat harus
bawa dari rumah, tapi demi Tuhan saya tidak pernah tega untuk menolaknya.
Saya
meneteskan air mata, tatkala membayangkan bahwa kerutan di wajah Kakek dan
Nenek saya semakin terlihat jelas. Nenek saya itu jagoan, pekerja keras tapi
sekarang jalannya sudah terganggu, dilututnya terjadi pengeroposan sehingga
harus dibantu oleh tongkat, padahal dulu, beliau adalah orang yang tidak pernah
bisa diam, bibirnya agak melenceng ke sebelah kanan, beberapa kali saya
mengantarkannya ke dokter karena beliau merasa tidak enak badan yang memang
diakibatkan karena faktor umur. Kakek saya pun tidak kalah jagoan, masih kuat
memikul beras satu karung meski berdua bersama orang lain, saya bersikeras melarangnya
tapi memang beliau keras akhirnya beliau memikul juga beras yang dijemur di
halaman rumah. Sekarang penglihatannya semakin berkurang, terkadang beliau
tidak dapat melihat secara jelas siapa yang mengajak bicara beliau, dan
mengangguk-ngangguk berlawanan dengan arah orang lain yang mengajaknya bicara.
Saya terenyuh, oh Tuhan mereka sudah sepuh.
Tuhan, aku
mencintai mereka. Bagaimana aku harus menjaganya? Aku harus bekerja jauh dari
rumah, dan setiap detik waktu berjalan tanpa pernah permisi. Aku menangis malam
ini dalam sebuah perenungan yang panjang, setelah banyak tekanan yang hari ini
aku terima dari berbagai sudut, tidak ada pilihan lagi bahwa aku harus terus
berjalan tangguh maju ke depan, aku punya orang-orang yang harus aku
bahagiakan, dan aku telah memilih siapa saja.
Aku takut,
ketika umurku bertambah tahun ini, umur mereka pun bertambah pula. Hingga aku
menemukan sebuah kalimat, “Satu-satunya cara menjaga orang yang kita sayang,
adalah dengan mendekati penciptanya, lalu meminta pertolongan biarkan sang
Pencipta yang benar-benar menjaganya. Aku percaya Tuhan.”
Jakarta, 19
Juli 2016. Selesai tepat pukul 22.05 dalam sebuah perenungan.
Salam,
Via Mardiana
Komentar
Posting Komentar