Dari Gobak Sodor, Sepakbola, dan Cukur Batok



(Cerita besar dimasa kecil bersama kawan-kawan kecil)
Adakah yang tengah rindu pada sesuatu ? Baik itu orang,suasana,ataukah masa? Ada yang sempat memberikan ruang untuk rindu pada masa anak-anak? Masa ajaib dalam setiap hidup manusia.
Dua belas tahun silam, untuk waktu yang tidak singkat saya berada dimasa yang begitu menyenangkan. Masa yang telah saya lalui dengan sebuah kenangan indah yang selalu menimbulkan rindu untuk kembali menyelami. Masa yang berbeda untuk sebuah kerinduan yang tidak akan pernah kembali datang, masa dimana hanya memikirkan makan dan tidur. Masa dimana hanya ada satu alasan untuk menangis, yakni jatuh!. Masa itu adalah ketika permainan ‘galah’ ( gobak sodor) menjadi permainan favorit saya sehabis pulang sekolah. Setelah mengganti seragam biasanya kawan-kawan kecil sudah menunggu di depan rumah dan mengajak bermain di lahan sawah yang kering yang jika terjatuh bisa menimbulkan lecet. Sementara anak-anak perempuan bermain galah (gobak sodor) biasanya anak laki-laki bermain bola di lahan yang sama, mereka berlari tertawa dan tak jarang saya lebih memilih untuk bermain bola daripada bermain galah, apalagi ketika hujan turun , maka kami menyambutnya dengan penuh suka cita, saling melempar lumpur bahkan saling menggulingkan satu sama lain. Masa itu adalah masa ketika rambut saya dicukur dengan model batok kelapa, kata bapak jadi wanita harus ‘singset’ ( bahasa sunda yang artinya ringkas, jangan terganggu oleh rambut) jadi terpaksa saya mengalah dicukur bak seorang anak laki-laki. Bapak bersikeras, sedang saya tak mau. Tetapi akhirnya saya luluh karena saat itu dibelikan telpon-telponan. Model rambut btok pun bertahan cukup lama sampai usia SD kelas lima saya memakai kerudung. Rupawan ternyata, dengan celana tiga perempat dan kaos-kaos bergambarkan tokoh kartun seperti saras 008 ataupun power ranger. Masa itu juga dimana masa saya hanya mempunyai 4 orang tetangga karena rumah saya tepat berada ditengah-tengah sawah sehingga tak jarang ketika musim panen petani-petani biasa meminta air untuk melepas dahaga.
Selepas bermain pada sore hari menjelang magrib, saya sudah harus siap-siap berangkat mengaji. Dengan diantarkan oleh emak ( nenek ) saya berangkat mengaji ke sebuah rumah yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Emak menunggu diluar menunggu saya selesai mengaji dan jam tujuh malam pengajian pun selesai dan saya kembali ke rumah. Masa itu dimana kumandang adzan terdengar begitu merdu karena masih banyak jangkrik berbunyi, masih banyak juga capung-capung yang menari depan rumah dan saya tak jarang menangkapnya lalu merobek sayapnya agar ia tidak terbang. Kadang saking ‘bodohnya’ saya memutar-mutar tangan tepat dihadapan muka capung katanya agar capungnya pusing dan dia pingsan lalu kami dapat menangkapnya dengan mudah. Segala bentuk kebodohan yang ternyata saya rindukan ketika masa itu telah habis dimakan masa sekarang. Suasana begitu hangat jika datangnya bulan ramadhan, sehabis berbuka dirumah masing-masing anak-anak giat pergi ke masjid untuk sholat tarawih, awalnya saya bersemangat karena banyak sekali kawan-kawan namun ketika sholat dimulai saya melakukan tindakan bodoh dengan menggoyang-goyangkan badan agar dapat melihat teman saya yang berada di shaf depan bagian laki-laki yang tertutup oleh hijab, lihat betapa bodohnya masa itu, bukan ? Lalu kami menabuh bedug dan disitu hanya ada satu perempuan kecil berambut batok, saya!
Gundu, adalah permainan tradisional yang sering saya mainkan. Tentunya dengan kawan laki-laki saya. Dipikir sekarang, kawanku lebih banyak laki-laki daripada perempuan ya? Ya, saya bermain gundu di depan rumah. Dulu jalan menuju rumah masih tanah yang enak untuk dijadikan arena bermain gundu, tetapi sekarang jalan dengan rumah sudah diaspal sekali jatuh pasti langsung berdarah. Uang jajan terpaksa disimpan, pikirnya untuk nanti membeli gundu habis pulang sekolah. Adalah keknoyolan lagi ketika saya sempat memancing ikan di selokan kecil, ada rasa bangga yang teramat sangat ketika saya berhasil menangkap satu ikan kecil lalu berlari saking senangnya tanpa melihat pematang sawah yang habis dibentuk oleh lumpur hingga akhirnya saya terjatuh tepat ke sawah yang padinya masih kecil dan ikan kecil hasil jerih payah pagi itu pun hilang dari genggaman. Sontak, kawan-kawan tertawa melihat tontonan tersebut padahal ikan itu harusnya saya perlihatkan pada Bapak biar bapak bilang , “anakku pintar!”. Tetapi belum sempat mendengar Bapak mengatakan itu ternyata saya sudah harus menstimulasi diri saya sendiri dengan , “bodohnya!”.
Tuhan, bagaimana tidak aku merindukan masa ajaib itu. Adikku mana sempat mencicipi zaman ajaib dimana kebanggan dapat diukur dari seringnya ia membuat layang-layang orang lain putus lalu mengejarnya sampai desa sebelah dan ternyata layang-layang yang putus malah tersangkut di pohon. Kini, rumah-rumah berjejer rapi didepan rumahku. Dibelakang rumah pun yang dulu hanya lahan sawah sekarang dibenteng oleh sang pemilik rumah yang lain, jalan-jalan sudah diaspal, pematang-pematang sawah kini sudah banyak yang ditembok. Anak-anak tak ada lagi yang bermain bola di lahan sawah, mereka lebih memilih memainkan gadget masing-masing. Sambil memasang headset lalu bernyanyi-nyanyi di depan rumah masing-masing. Kini, saya pikir sudah tidak ada lagi teriakan anak-anak yang mengajak temannya untuk bermain dan mengajak ngaji bersama-sama. Kawan-kawan kecil pun sekarang tiada sering  nampak, sebagian dari mereka sudah pergi mencari penghidupan yang lebih layak ke kota, adapula yang telah menjadi Ibu dan Bapak dari bayi-bayi lucu. Saya lihat, dia yang dulu bermain bersama sekarang tangannya sudah menghitam, urat-uratnya terlihat gagah, dikatakannya ia lakukan kerja untuk membeli susu anaknya. Padahal dulu ia adalah kawan yang bersama berlari mengejar layang-layang putus. Zaman telah berubah. Merubah semua yang dilewatinya termasuk merubah kebiasaan manusia yang hidup di zaman tersebut. Ada rasa rindu untuk kembali ke zaman itu, untuk sekadar membuat jiwa yang sedang mencoba dewasa kembali merasakan kesenangan bersama kepolosan. Untuk sekadar berceloteh membicarakan sepeda siapa yang paling keren? Atau layang-layang siapa yang paling jago. Sang empunya rambut batok ini benar-benar merindukan zaman kecilnya, zaman yang berganti , berubah begitu cepat yang sulit untuk dikembalikan persis. Harus saya terima perubahan yang terjadi, ketika kerinduan itu datang ternyata merenung menjadi obatnya sambil tertawa kecil mencoba mengingat-ngingat kejadian lucu untuk saya ceritakan pada anak cucu kelak, pada sore hari diteras rumah.

Komentar

Postingan Populer