“Aku golput saja lah!”
Tahun 2014 merupakan tahun yang
fenomenal bagi perpolitikan di Indonesia, ditahun ini pula saya pertama kali
akan melakukan pencoblosan. Hal yang pertama kali menjadi bahan pemikiran
adalah, ya saya mau mencoblos siapa? Partai apa?
. . .
Tinggal menghitung hari, pesta
demokrasi akan segera dihelat serentak diseluruh Indonesia. Mereka yang telah
percaya diri maju menjadi calon anggota legislatif sudah berbenah sejak lama.
Menyebarkan pamflet, memasang baliho-baliho besar yang mengalahkan baliho ‘Stop
Merokok’ , bahkan melakukan kunjungan-kunjungan untuk menarik hati masyarakat. Adapula
yang melaksanakan ritual khusus seperti mandi di sungai dan yang tak kalah
heboh adalah membagi-bagikan uang. Semuanya dilakukan untuk mendulang suara
sebanayak-banyaknya hingga akhirnya terpilih dan duduk santai di ruang kerja
sambil sesekali membahas kesejahteraan rakyat. Sesekali loh ya!.
Dalam kampanyenya mereka
berlomba-lomba menyuarakan visi dan misi, seperti sebuah spanduk dari salahsatu
calon presiden dari salahsatu partai yang mengatakan bahwa akan memberikan dana
sebesar 1 milyar untuk tiap desa pertahun yang menurut saya hanya akan
menciptakan koruptor-koruptor baru di desa. Bukan tidak percaya tetapi melihat
keadaan sekarang bukan tidak mungkin kepala desa-kepala desa yang ada akan
semakin kaya sedang masyarakat desanya terbengkalai karena sibuk memperbagus
rumah, selain itu adapula yang membangga-banggakan partai yang mengusungnya,
bahkan adapula yang saling sindir antar partai agar masyarakat simpati.
Jadi, partai mana yang harus dipilih?
Lagi-lagi kita harus benar-benar pintar. Pintar menimbang apa yang akan terjadi
ketika kita memilih partai A atau partai B. Karena untuk urusan cuap-cuap visi
dan misi mereka sudah lihai dalam berolah kata, bahkan menjadi pura-pura pintar
dan intelek dengan pemakaian kosa kata tingkat tinggi padahal hal tersebut baru
dipelajari beberapa jam sebelum naik panggung kampanye. Hal yang tak kalah
heboh adalah adanya caleg-caleg yang tidak disangka akan mencalonkan diri,
seperti tukang penjual telur, tukang es , juga ibu rumah tangga. Ada dua
kemungkinan mereka melakukan hal tersebut, pertama adalah mereka mencoba unjuk
diri dengan segala kesederhanaan yang mereka punya dan yang kedua adalah bahwa
hal tersebut adalah bentuk kekesalan terhadap anggota dewan yang lima tahun
yang lalu dipilih oleh mereka. Fenomena politik tidak berhenti sampai disitu,
pencalonan artis-artis yang dengan kepercayaan diri yang selangit mencoba
peruntungan menjadi anggota dewan, tidak tanggung-tanggung langsung mencalonkan
diri sebagai anggota DPR-RI. Wow, fantastik bukan ? Yang dikhawatirkan adalah
ketika negeri ini djadikan panggung sandiwara oleh mereka yang ‘pede’ itu.
Hal yang mengejutkan yang terjadi
pada anggota DPR kita di Senayan yakni mengenai kinerja yang semakin menurun,
bahkan sebuah survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga menyatakan bahwa hanya
4 orang anggota dewan yang mempunyai kinerja bagus dari keseluruhan, hampir
lebih dari 400 anggota dewan mempunyai kinerja sangat buruk. Diulangi, hanya 4
yang baik dan nol besar untuk yang sangat baik. Jadi apa yang mereka lakukan di
Senayan? Duduk manis mendengar pimpinan sidang cuap-cuap, main games di gadget
canggihnya, atau bahkan menonton film porno saat pemimpin rapat dengan lantang
bertanya siapakah yang akan memberikan masukan untuk sebuah kebijakan. Inilah
potret dari anggota dewan yang dulu ‘kepedean’.
Pemilihan umum yang telah terjadi
seolah-olah menciderai nilai demokrasi itu sendiri. Padahal niatan dari
pencetus demokrasi adalah kepemimpinan yang ditentukan oleh rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat. Tapi apakah harus rakyat yaang selalu dijadikan objek dan alasan
bagi ‘wakil rakyat’ yang memegang tameng berniat ‘menyejahterakan rakyat’
sementara ketika sudah terpilih malah berlomba mekhianati rakyat?. Kita tak
pernah tahu, memlih partai A, partai B, atau tidak memilih adalah sebuah
pilihan. Bukan menyalahkan ketika kita memilih caleg yang tidak mempunyai
kredibilitas itu salah, bukan pula bahwa golput adalah salah besar karena tidak
mau ikut serta dalam proses pemilihan. Tentunya masing-masing dari kita telah
diamanahkan mempunyai akal untuk berpikir. Berpikir untuk golput atau tidak. “Aku
golput sajalah” bisa jadi jalan keluar bukan?
. . .
Sampai tulisan ini saya posting
pun saya masih bingung harus memilih yang mana. Saya terlalu bodoh mungkin
untuk tidak mau tahu sedikit kebaikan yang mereka usung, namun bukankah hak
juga untuk tidak memilih? Kenapa jika tidak memilih kita jangan berkomentar
dengan apa yang akan terjadi sekarang. Apa ini pemasungan kebebasan berpendapat
di era modern ? Saya tak mengajak untuk melaksanakan golput karena ya saya pun
bingung akan bagaimana tanggal 9 april ini. Apakah saya akan ke TPS mengambil
surat suara lalu saya robek-robek di bilik suara?Atau saya tidak akan datang ke
TPS dan tidur seakan-akan lupa kalau hari itu tanggal 9 April.
Hidup adalah pilihan, pilihan yang menentukan kehidupan. Gunakan suaramu tuk memilih orang" yang tepat, kamu mau suaramu disalahgunakan oleh orang" yg haus akan kekuasan? percayalah diantara orang" yg busuk msih ada orang yang baik.
BalasHapus