YANG KUINGIN
“Ma, nanti siang aku akan main ke rumah Roman,
jadi mama jangan khawatir.”kataku setengah berteriak.
Lalu, mamaku keluar dari
dapur dan melihatku yang sedang menalikan sepatu.
“Kenapa mama melihatku
seperti itu?”tanyaku aneh.
“Kau tak lihat jam, nak?
Pukul berapa sekarang?”kata mama.
Aku melihat jam cokelat
yang sudah usang itu.
“Tak apa ma, aku sengaja
berangkat pagi karena hari ini aku hendak ujian.”kataku.
“Baiklah, mama
mendoakanmu, semoga kau dapatkan nilai
bagus.”kata mama.
“Terimakasih, ma. Dimana
baba?”
“Beliau masih di mesjid,
pergilah. “kata mamaku.
Aku mencium tangan mama
dan pergi ke sekolah.
. . .
Kususuri jalanan desa
yang jauh dari polusi. Sungguh indah, hidup di desa yang jauh dari jamahan
globalisasi seperti di kota. Aku sering berpikir, bagaimana kehidupan dikota?
Apakah mereka masih bisa mendengar suara kodok? Seperti di rumahku? Bisakah
mereka menghirup udara yang sejuk di pegunungan sepertiku? Bisakah mereka
berlari di sawah yang padinya sedang dipanen? Ditemani kicauan burung pipit
yang dengan santainya memakan padi padahal pak Tani tidak henti-hentinya berlari
agar burung itu tidak memakan padi yang hendak dipanennya?.
Sudahlah, lamunanku
disadarkan oleh teriakan seseorang dari belakang.
“Mon ..................teriak
seseorang dari belakang dengan suara panjang.
Aku menghentikan
langkahku dan menunggu laki-laki hitam itu mendekat.
“Hai? Bagaimana kabarmu
hari ini?”tanya Sangsong.
“Hahaha, sudah ku kira
pasti kau. Siapa lagi temanku yang suka panggil aku ‘Mon’ kecuali kau.”kataku.
Sangsong tersenyum.
“Habisnya ku tak habis
pikir, kau mau berteman dengan monyet-monyet liar.”katanya.
“Haha. Monyet. Aku? Kau
? Monyet?”kataku.
“Hanya kau. Aku tidak
.”jawab Sangsong.
“Sudahlah, mari
berangkat.”ajakku.
Empat kilometer. Itu
jalan yang harus kami tempuh. Sangat jauh, tapi demi cita-citaku, mama dan juga
baba aku tidak akan pernah mengeluh sedikitpun. Aku ingat ketika baba bicara
padaku.
“Monang, kau tahu apa
yang baba inginkan darimu?”tanya baba.
“Apa itu ba?”tanyaku.
“Baba ingin kau menjadi
anak yang berilmu. Jujurlah dalam berbagai hal dan jangan pernah mengenal kata mengeluh dalam
hidupmu.”kata baba.
“Monang?”kata Sangsong
mengagetkanku.
Ternyata aku melamun.
Sepanjang jalan Sangsong
tidak berhenti bercerita padaku. Tentang mimpinya semalam.
“Kau pasti tak percaya
dengan mimpiku ini.”katanya.
“Memangnya kau mimpi
apa?”tanyaku.
“Kau tahu, aku bermimpi
bisa terbang dan bertemu denga Einstein.”katanya.
“Oh Sangsong, sungguh
tidak masuk akal. Ceritakan mimpimu yang lain.”kataku.
“Mimpiku yang mana?”
“Yang mana sajalah,
terserah kau.”
“Mimpiku terlalu
banyak.”katanya.
Aku tertawa.
“Kalau begitu biarkan
aku yang bercerita.” kataku.
“Kau akan bercerita
tentang apa?”tanya Sangsong.
“Tentang hidup ini.
“jawabku.
Sebelum aku bercerita,
mata kami dikejutkan oleh munculnya seorang anak hitam, kucel dengan baju yang
sudah lusuh ‘pula’.
“Sudah pukul 06.15, ayo
.”kata Roman menarik bajuku.
Kami bertiga berlari
menyusuri jalan setapak yang becek, melewati pohon-pohon yang tinggi menjulang.
Dengan monyet-monyet liar yang sesekali muncul dan membuat kami kaget. Ya,
monyet-monyet liar itu sudah menjadi temanku. Selain Sangsong dan Roman.
“Ayo, ujian kali ini
tidak boleh gagal. Kita pasti bisa dapatkan angka 10, dan babaku akan senang. “
kataku memompa semangat kedua sahabataku.
Kami sampai di sekolah.
Sangsong langsung pergi ke toilet karena ia ingin mencuci sepatu ‘butut’nya
yang tadi menginjak lumpur. Sedangkan aku memilih untuk duduk sebentar di kursi
dekat toilet sambil menunggu Sangsong dan Roman.
Kalau sedang duduk
seperti ini aku jadi ingat kepada Senk , anak kecil itu, anak kecil yang luar
biasa, dan sangat tangguh menurutku. Seharusnya ia sekolah tetapi karena ibunya
menyuruhnya untuk bekerja , bocah kecil itu tidak bisa apa-apa. Memang, kondisi
keluarganya sangat jauh dibawahku. Sehingga ia harus ikut bekerja untuk
membantu orangtuanya. Ya, aku juga jadi
ingat nasihat mama
‘ Monang, kau tahu
diluar sana berapa ratus orang yang hidup miskin? Jauh dari kita? Kita seharusnya
bersyukur, ya walaupun kita hidup di hutan, tapi mama percaya kau akan bisa
menjadi seorang pejabat, di Jakarta tentunya”
Oh, mama masih saja
mengharapkanku untuk menjadi seorang pejabat, padahal didalam lubuk hati ini,
tak sedikitpun aku ingin menjadi pejabat. Aku takut godaan, aku takut uang, aku
takut kemewahan. Aku takut lupa akan asalku. Aku takut lupa akan janjiku dan
itu akan menjadi dosa bagiku. Dan aku tidak ingin dosa itu menumpuk dalam
hidupku
“Hey.”kata Sangsong.
Lagi-lagi Sangsong
membuatku kaget.
“Kau melamun lagi.
“katanya.
“Mana Roman?”tanyaku.
Sangsong menggelengkan
kepala.
“Ya sudahlah, mending
kita tunggu dia di kelas saja. “
Aku dan Sangsong
berjalan menuju kelas kami. Ya, kelas kami yang sangat tidak layak untuk
dijadikan tempat menimba ilmu, atap yang bocor, lantai yang kotor juga papan
tulis yang tinggal sebagian, karena sebagian lagi harus dibagi dengan kelas
yang lain. Oh, sangat tidak menunjang kupikir. Tapi apalah hendak dikata. Semua
ini nyata, tidak dapat aku sangkal. Semua ini tepat di depan mata.
“Asalamualaikum
anak-anak yang saya cintai. “ sapa Pak Widodo .
“Bagaimana kabar kalian?
Siapa yang hendak bercerita ?”lanjut Pak Widodo.
Aku mengangkat tangan.
“Silahkan, Monang.” Kata
Pak Widodo.
“Sebenarnya saya tidak
ingin bercerita pak, tapi saya ingin bertanya. “
Kulihat Pak Widodo
mencerna perkataanku.
“Bertanya mengenai apa
Monang?”
“Tentang kita , Pak.
Tentang aku, bapak, dan semua anak yang menimba ilmu di sekolah ini. “
“Apa masalahmu?”
“Hanya satu.”
“Apa itu?
“Bangunan, Pak. “
jawabku.
Pak Widodo menundukan
kepala.
“Aku tak habis pikir
pak, apakah kita semua perlu ke kota dan berdemo disana? Ironis sekali pak,
jika kita berdemo hanya karena sebuah bangunan.”kataku.
“Benar, pak. Kami ingin
mempunyai bangunan yang bagus, tak megah pun tak apa, asalkan kita semua dapat
terlindungi dari hujan dan panas saja.”tambah Sangsong.
“Anak-anak terimakasih
atas dukungan dari kalian, kami pun berharap ada perbaikan pada sekolah ini.
Tapi apalah daya kami yang hidup di hutan yang jauh dari kota, tapi tenang
saja, 4 bulan yang lalu kami sudah mengajukan rehabilitas bagi sekolah ini. Dan
hari ini dikabarkan pihak pemerintah akan melihat kondisi sekolah kita.“kata Pak
Widodo.
Kami semua hanya bisa
diam mendengar pernyataan pak Widodo. Aku tahu, 4 bulan yang lalu pihak sekolah
meminta bantuan kepada pemerintah tapi buktinya? Sampai sekarang pun bantuan
itu belum juga datang. Dan berulang kali kami menanyakan mengenai perbaikan
sekolah selalu jawaban itu yang keluar dari mulut pak Widodo.
Ya, aku tahu pihak
sekolah pun ingin memperbaiki bangunan sekolah yang lebih layak dijadikan
kandang kuda saja.
“Sudah kubilang pak,
kita itu jangan terlalu mengharapkan bantuan pemerintah, pemerintah sedang
sibuk mengurusi masalah-masalah yang lebih besar dan ada uangnya daripada
mengurusi memberikan bantaun pada sekolah kita yang ada di hutan ini. “
“Sudahlah Monang, tidak
ada gunanya kamu berkata demikian, toh mereka tidak akan pernah mendengar apa
yang kita ucapkan.”
“Baiklah, aku akan diam, tapi lihat saja
suatu saat nanti jika aku sudah menjadi presiden di negeri ini.”
Seketika suasana kelas hening.
“Hey, kenapa kalian diam ?”kataku.
“Kita itu orang hutan dan sangat jauh untuk
mencapai kota, bagaimana mungkin kau akan menjadi seorang presiden? Itu hanya
angan-angan bodohmu saja Monang.”kata Parkit.
“Hahaha, lihat saja nanti Parkit.”kataku.
“Sudah-sudah, mari kita lanjutkan pelajaran
pagi ini.”
Pagi itu aku seperti malas untuk mendengar apa yang
dikatakan pak Widodo, bukan memperhatikan apa yang disampaikan pak Tua itu tapi
aku malah memikirkan apa yang dikatakan Parkit tadi. Mengenai ketidakmampuanku
sebagai orang yang tinggal di hutan untuk menjadi seorang presiden. Sungguh,
itu sangat memukulku. Aku tidak bias terima apa yang dikatakan Parkit tapi aku
juga tidak bisa membantah
kebenaran itu. Akan ketidakmampuan kami, orang yang tinggal di hutan untuk
meraih cita-cita.
“Monang,”
“Monang,”
“Apa?”tanyaku pada Sangsong.
“Kenapa kau?”
Aku sedikit membalikan badan untuk melihat
Sangsong yang duduk dibelakangku.
“Tidak, hanya sedang merenung.”
“Kutebak, pasti kau memikirkan apa yang
dikatakan Parkit tadi kan?”
“Hmm, lagi-lagi kau dapat membaca pikiranku.”
“Nanti kita bicarakan, sekarang perhatikan
pak Widodo di depan, kau mau pak Widodo berhenti jadi guru di sekolah kita
ini?”
“Baiklah.”
Sepulang sekolah aku dan
kedua sahabatku tidak lagsung pulang. Katanya akan ada pejabat dari kabupaten
yang akan melihat kondisi sekolahku. Aku menunggu dibawah pohon mangga yang
ditanam didepan sekolah. Tak lama kemudian sekelompok orang dengan baju
berwarna ‘cream’ masuk ke area sekolah. Mereka saling memandang. Tiba-tiba
Sangsong berdiri lalu berlari dan menghampiti seorang laki-laki berkumis tebal
yang berjalan paling depan. Dengan penuh rasa hormat Sangsong bersujud di depan
laki-laki itu. Lalu ia menangis sambil memeluk kaki laki-laki itu. Kami berdua
segera menghampiri Sangsong.
“Hey, tak usah bersujud
seperti itu. Sungguh tidak pantas!”kataku sambil menarik tubuh Sangsong.
“Sangsong, bangun!”kata
Roman.
Orang-orang yang berdiri
di belakang laki-laki berkumis itu menatap kami dengan tatapan tajam. Tangisan
Sangsong semakin keras. Sepertinya ia merasakan sakit hati yang terlalu dalam.
Lalu, Roman malah menjatuhkan dirinya. Hanya aku yang masih beridir tegak.
“Ada apa ini?”tanyaku
pada Roman dan Sangsong.
Laki-laki yang merupakan
ketua Dinas Pendidikan itu membantu Sangsong beridiri.
“Bangunlah!”kata
laki-laki itu.
“Tidak!” kata Sangsong.
“Hey, kalian membuatku
malu! Bukankah kalian sudah berjanji tidaak akan bersikap ramah pada
mereka?”kataku kesal.
Roman angkat bicara.
“Lihatlah pak, bagaimana
kami harus belajar. Dianatara kucuran air hujan yang dengan gansanya membasahi
buku-buku kami. Ini bukan sekolah tapi ini adalah kandang kuda!”kata Roman.
Aku diam.
“Ini kandang monyet,
pak. Dan kami adalah monyet-monyet itu. Monyet-monyet yang telah kalian
lupakan. Kalian dengan kemewahan hidup di kota, sedangka kami harus berjuang
hanya untuk sekadar mencari ilmu. Kami berjalan melewati hutan yang bisa saja tanpa
sepengtahuan kami akan membuuh kami secara perlahan.”kata Sangsong.
“Ya, kami hanya ingin
sekolah yang layak.”kataku lemas.
Semua orang diam. Mereka
mencerna perkataan yang disampaikan Sangsong.
“Kami hanya ingin sebuah
kelayakan dalam menuntut ilmu, pak. Itu saja.ata Sangsong sambil berdiri dan
berlari meninggalkan sekelompo orang itu. Roman dan aku mengikuti Sangsong dari
belakang.
“Kau bercanda?”kataku
sambil berlari menyamakan langkah dengan Sangsog.
“Tidak.”jawab Sangsong.
“Lalu?”tanya Roman.
“Bukankah itu isi hati
kita, kawan?”kata Sangsong.
Aku dan Roman tersenyum.
Komentar
Posting Komentar