BOJAKAN, DESA SEDERHANA DALAM DEKAPAN BELANTARA SIBERUT
Lagi, aku akan merasakan sepinya malam hari di sebuah desa di dalam hutan. Bojakan, itulah desa kedua yang aku singgahi setelah 2 hari yang lalu aku menginjakan kaki di Desa Sotboyak yang juga masih dalam kawasan kecamatan Siberut Utara. Aku sampai sekitar pukul 15.00 di desa yang penduduknya tidak kurang dari 84 kepala keluarga ini. Perjalanan dari Sotboyak sendiri membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam , tentunya dengan menggunakan pom-pong. Pom-pong merupakan perahu bermesin yang biasanya dipakai oleh masyarakat Bojakan untuk bepergian. Selain pompong masyarakat juga dapat menggunakan perahu biasa dengan bantuan dayung atau bambu  yang digunakan untuk mendorong perahu. Hujan pun mengguyur tanah yang sepertinya setiap hari diguyur hujan ini  dan membuat langkahku sedikit berat karena udara dingin yang menyeruak memasuki rongga hidungku. Sudah bisa kutebak, kondisinya memang berbeda dengan desa Sotboyak yang notabennya memiliki aksesibilitas yang lebih mudah dijangkau dari Muara Sikabaluan. Hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam dengan menggunakan motor kita sudah dapat sampai di Desa Sotboyak, walaupun memang jalan menuju Desa Sotboyak tidak begitu bagus apalagi jembatan-jembatannya yang sudah rapuh yang memang sudah tidak layak untuk digunakan. Tetapi masyarakat Desa Sotboyak tetap saja menggunakan jembatan tersebut karena jalur darat menuju Desa Sotboyak hanyalah melewati jalan ini. Dua hari aku habiskan waktu di desa Sotboyak, sekarang aku berada di Desa Bojakan. Salah satu desa di belantara pulau Siberut dengan tingkat kecurigaan masyarakat yang masih tinggi terhadap pendatang.
IMG_0822.JPG
Masyarakat desa Bojakan yang baru pulangdari Muara Sikabaluan
Aku tidak mendengar deru mesin yang riuh seperti diperkotaan. Sore hari, di desa Bojakan begitu sepi setelah beberapa waktu lalu ramai dengan teriakan para pemuda yang sedang bermain voli di samping gereja Katholik desa ini. Suara anjing-anjing setengah liar yang mengonggong dipelataran SD 03 Bojakan menyiratkan efek menyeramkan. Apalagi kulihat matahari memang sudah benar-benar kembali ke peraduannya digantikan oleh pekatnya awan-awan hitam dan desiran angin yang memaksaku mengangkat tangan kedada untuk sekadar menghangatkan badan. Kondisi yang sangat berbeda jauh dengan di Bogor. Maklumlah, Desa Bojakan adalah sebuah desa di pedalaman Siberut. Belum ada akses jalur darat untuk sampai di desa dengan tingkat kecurigaan masyarakatnya yang masih tinggi terhadap pendatang ini.
IMG_0832.JPG
Sekolah Dasar Negeri 15 Bojakan
IMG_0871.JPG
Aktivitas pemuda [ada sore hari di Desa Bojakan
Sungguh luar biasa masyarakat disini, hidup jauh dari dekapan pemerintah.  Kesederhanaan tampak jelas terlihat dari pakaian lusuh yang mereka pakai. Lusuh, aku pun bingung dan sempat berpikir mengenai pakaian yang mereka pakai. Aku seperti terjerumus dalam sebuah pemikiran akan keadilan kehidupan di negeri ini. Sedih rasanya aku melihat pakaian-pakaian lusuh dijemur didepan rumah yang juga jauh dari kesan cukup. Tetapi, mungkin bagi mereka mempunyai rumah yang seperti demikian justru sudah berucap syukur beribu-ribu kali, tetapi bagiku sungguh kesenjangan yang membuat hati ini ingin menangis didepan istana Negara berharap para petinggi negeri ini merasa iba akan kondisi rakyatnya di kawasan yang terisolasi seperti Siberut ini. Tetapi hal yang membuat aku merasa salut di desa ini bahwa di desa ini tidak pernah terjadi kelaparan. Sumber makanan melimpah ruah dengan system kekerabatan yang luar biasa bermakna.
IMG_0924.JPG
Warga masyarakat desa Bojakan

Di desa Bojakan  aku tinggal disebuah rumah dinas katanya, kulihat kondisi rumah yang begitu sederhana. Tidak ada perabotan elektronik, pencahayaan pun hanya sebuah lampu neon yang sudah sangat  redup. Dan listrik pun akan menyala setelah pukul tujuh malam serta hanya beberapa rumah saja yang mempunyai pencahayaan. Aku kembali berpikir mengenai hati seorang guru yang mengabdi memberikan ilmu di desa Bojakan ini berapa gaji yang ia terima, apakah sudah cukupkah untuk membalas keikhlasan yang guru tersebut berikan untuk pendidikan di negeri ini, ataukah sosok guru tersebut hanya dibayar dengan senyum ketulusan murid-muridnya yang masih begitu polos menapaki kehidupan dunia yang begitu kuat mencengkeram harapan-harapan mereka? Beribu pertanyaan bergelayut dalam pikiranku, serta merongrong dengan ganasnya dan memaksaku agar selalu berpikir tentang orang lain , Ya, berpikir tentang kehidupan di Desa Bojakan ini.
Udara malam hari begitu dingin, angin berdesir menyapaku dengan efek tak kalah menyeramkan. Suasana yang sangat eksotis kupikir, beruntunglah aku tidak sendiri, ditemani 2 orang kawanku sesama mahasiswa dan satu orang pemandu dari pihak taman nasional. Rasa lapar mulai menyambangi perutku, aku dan kedua kawanku pergi ke dapur untuk memasak. Tidak ada kompor, yang ada hanya beberapa  batang bambu yang siap dibakar. Lagi-lagi aku berujar pada diriku sendiri, seperti apakah sosok bu Aminah yang tinggal di rumah ini?
Makananpun sudah siap, kami berempat makan di ruang depan dengan kondisi pencahahayaan yang sangat kurang sehingga aku harus memakai headlamp untuk membantu penglihatanku yang minus 4. Setelah selesai makan , kami sejenak mengobrol di malam itu, sesekali guyonan terlontar dari pemandu kami yang memang asli orang mentawai. Capek beradu cerita kami bergegas masuk kamar sederhana dan memejamkan mata untuk terbangun esok hari menjemput ilmu yang akan aku dapatkan di Desa Bojakan ini.
IMG_0947.JPG
Anak-anak Desa Bojakan yang sedang bermain
Minggu, tanggal 8 Juli 2012. Dingin, itu perasaan pertama yang aku rasakan ketika sejenak membuka mata dari tidurku. Kulihat sekeliling ruangan yang gelap itu dengan perasaan syukur bahwa aku masih diberikan nafas untuk hidup dan mencari ilmu di desa ini. Melihat kawanku masih terlelap dalam tidurnya akhirnya mata ini pun tidak sampai hati untuk melihat kondisi diluar sehingga kembali terpejam dan terbuka kembali setelah pukul 08.00. Kendati sudah menunjukan pukul 08.00 yang menurut ukuran dikota siang, desa ini masih begitu sepi. Sesekali aku mendengar celotehan remaja yang akan melaksanakan ibadah di gereja yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempatku tinggalku, hanya beberapa langkah saja untuk sampai ke gereja itu. Masyarakat disini mayoritas memang beragama Kristen katholik. Terdapat dua tempat peribadatan yaitu gereja untuk katholik dan gereka untuk protestan. Gereja katholik mempunyai ukuran yang lebih besar, dikarenakan memang agama Kristen katholik merupakan agama mayoritas di desa ini.
IMG_0926.JPG
Gereja Katholik di Desa Bojakan
Siang harinya aku berhasil mewawancarai 5 orang bapak-bapak yang sedang mengobrol di depan rumah salah satu dari mereka. Tampak jelas kepulan asap rokok yang mereka hasilkan. Setelah mengucapkan salam, aku berbasa-basi sebentar untuk mencairkan suasana. Ada yang tersenyum, diam , bahkan ada pula yang masih memasang wajah tak mau berinteraksi denganku. Tampak pakaian lusuh yang mereka kenakan, namun aku dapat melihat tangan-tangan perkasa yang mereka punya walaupun salah satu dari mereka sudah mulai renta. “Lihatlah tangan kami masih kuat-kuat, dek” kata pak Yosafat Sakokah. Sejenak kami tertawa. Memang benar, tangan kekar yang mereka punya merupakan bukti perjuangan mereka menapaki kehidupan di kawasan terisolasi seperti Desa Bojakan. Hampir sebagian besar masyarakat disini berladang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ladang mereka dipenuhi oleh manau, cokelat, kopra. Ditambah kebun-kebun yang didalamnya terdapat berbagai macam sayuran yang bebas diambil setelah mendapat izin dari yang punya. Sistem kekerabatan yang begitu dalam di sebuah desa yang sederhana ini.
Bicara tentang kesehatan, aku kembali harus menundukan kepala. Di desa ini hanya ada satu bidan untuk melayani kesehatan masyarakat. Lagi-lagi aku berdecak kagum pada sosok bidan yang bernama Sinta ini. Ia berasal dari Batak dan ditugaskan di Desa Bojakan ini. Sempat aku mendengar keluhan juga dari bibirnya bahwa ia ingin segera pindah dari desa ini, seandainya dia pindah apakah masih ada bidan yang ikhlas ditempatkan di desa terpencil dipedalaman Siberut ini?
Hari senin, 9 juli 2012. Seharusnya hari ini anak-anak SD 03 Bojakan masuk sekolah. Aku sudah menanti kehadiran mereka didepan pintu. Namun, sudah pukul 08.00 wajah polos anak-anak penerus bangsa tak kunjung kulihat. Aku malah melihat sejumlah anjing-anjing jantan yang sedang mengejar anjing betina di pelataran SD. Jam menunjukan pukul 09.00, belum juga aku melihat anak-anak yang kuharapkan kedatangannya. Lantas aku bertanya pada teman baruku di Desa Bojakan ini, sebuah jawaban yang menurutku harus menjadi bahan perbincangan para petinggi kita di Jakarta. Tidak adanya guru menjadi penyebab liburnya sekolah. Ironis mungkin jika kita menilik dari sudut pandang pendidikan yang hakikatnya merupakan hak setiap warga Negara, tetapi jika ditilik lebih dalam dan melihat dengan sudut pandang kondisi di desa ini kita pun masih harus memilah-milah akan pernyataan kita mengenai kejadian tersebut. Bagaimana tidak, kondisi yang sangat jauh menjadi hambatan para guru untuk mengajar. Kita pun tidak dapat menyalahkan mereka untuk kejadian tersebut, untuk mereka mau ditempatkan di desa ini saja seharusnya kita memberikan penghargaan tiada tara. Dijaman yang menginginkan serba otomatis orang-orang dengan pengabdian yang orientasinya ikhlas sangatlah jarang dijumpai. Lantas jika melihat keadaan seperti ini, masihkah kita menganggap bahwa negeri ini sedang bergerak maju kearah perbaikan ? ketika pendidikan ditanggalkan karena kurangnya pentransfer ilmu pengetahuan?

Dengan konsidi sosial ekonomi yang terbilang belum begitu maju ternyata memang pendidikan masyarakat di s\desa ini sangatah kurang, dari kelima bapak yang aku wawancarai kemarin semuanya belum tamat sekolah dasar. Bagi masyarakat disini arti penting sebuah ilmu pengetahuan memang sudah mereka pahami, namun untuk sekolah SMP dan SMA masyarakat harus pergi ke Muara Sikabaluan yang jaraknya cukup jauh. Ditambah alat transportasi yang hanya bisa digunakan dari desa Bojakan hanyalah pom-pong.
Dua hari dalam balutan kesederhanaan Desa Bojakan, memaksaku untuk kembali berpikir dalam sebuah fantasi tentang arti kehidupan. Antara perasaan bersyukur atau berkufur atas semua nikmat Tuhan. Desa Bojakan memberiku banyak pengetahuan tentang perjuangan, keikhlasan, kesederhanaan termasuk ketidakadilan. Desa sederhana ini mampu mengoyak otakku untuk selalu menyambangi sebuah pemikiran logis akan nilai kehidupan diatas keserhanaan.

Komentar

Postingan Populer