BOJAKAN,
DESA SEDERHANA DALAM DEKAPAN BELANTARA SIBERUT
Lagi, aku akan merasakan
sepinya malam hari di sebuah desa di dalam hutan. Bojakan, itulah desa kedua
yang aku singgahi setelah 2 hari yang lalu aku menginjakan kaki di Desa
Sotboyak yang juga masih dalam kawasan kecamatan Siberut Utara. Aku sampai
sekitar pukul 15.00 di desa yang penduduknya tidak kurang dari 84 kepala
keluarga ini. Perjalanan dari Sotboyak sendiri membutuhkan waktu sekitar 2,5
jam , tentunya dengan menggunakan pom-pong.
Pom-pong merupakan perahu bermesin
yang biasanya dipakai oleh masyarakat Bojakan untuk bepergian. Selain pompong
masyarakat juga dapat menggunakan perahu biasa dengan bantuan dayung atau
bambu yang digunakan untuk mendorong perahu.
Hujan pun mengguyur tanah yang sepertinya setiap hari diguyur hujan ini dan membuat langkahku sedikit berat karena
udara dingin yang menyeruak memasuki rongga hidungku. Sudah bisa kutebak, kondisinya
memang berbeda dengan desa Sotboyak yang notabennya memiliki aksesibilitas yang
lebih mudah dijangkau dari Muara Sikabaluan. Hanya membutuhkan waktu sekitar
satu jam dengan menggunakan motor kita sudah dapat sampai di Desa Sotboyak,
walaupun memang jalan menuju Desa Sotboyak tidak begitu bagus apalagi
jembatan-jembatannya yang sudah rapuh yang memang sudah tidak layak untuk
digunakan. Tetapi masyarakat Desa Sotboyak tetap saja menggunakan jembatan
tersebut karena jalur darat menuju Desa Sotboyak hanyalah melewati jalan ini.
Dua hari aku habiskan waktu di desa Sotboyak, sekarang aku berada di Desa
Bojakan. Salah satu desa di belantara pulau Siberut dengan tingkat kecurigaan
masyarakat yang masih tinggi terhadap pendatang.
Masyarakat
desa Bojakan yang baru pulangdari Muara Sikabaluan
Aku tidak mendengar deru mesin
yang riuh seperti diperkotaan. Sore hari, di desa Bojakan begitu sepi setelah
beberapa waktu lalu ramai dengan teriakan para pemuda yang sedang bermain voli
di samping gereja Katholik desa ini. Suara anjing-anjing setengah liar yang
mengonggong dipelataran SD 03 Bojakan menyiratkan efek menyeramkan. Apalagi
kulihat matahari memang sudah benar-benar kembali ke peraduannya digantikan
oleh pekatnya awan-awan hitam dan desiran angin yang memaksaku mengangkat
tangan kedada untuk sekadar menghangatkan badan. Kondisi yang sangat berbeda
jauh dengan di Bogor. Maklumlah, Desa Bojakan adalah sebuah desa di pedalaman
Siberut. Belum ada akses jalur darat untuk sampai di desa dengan tingkat
kecurigaan masyarakatnya yang masih tinggi terhadap pendatang ini.
Sekolah
Dasar Negeri 15 Bojakan
Aktivitas pemuda [ada sore hari
di Desa Bojakan
Sungguh luar biasa masyarakat
disini, hidup jauh dari dekapan pemerintah. Kesederhanaan tampak jelas terlihat dari
pakaian lusuh yang mereka pakai. Lusuh, aku pun bingung dan sempat berpikir
mengenai pakaian yang mereka pakai. Aku seperti terjerumus dalam sebuah
pemikiran akan keadilan kehidupan di negeri ini. Sedih rasanya aku melihat
pakaian-pakaian lusuh dijemur didepan rumah yang juga jauh dari kesan cukup.
Tetapi, mungkin bagi mereka mempunyai rumah yang seperti demikian justru sudah
berucap syukur beribu-ribu kali, tetapi bagiku sungguh kesenjangan yang membuat
hati ini ingin menangis didepan istana Negara berharap para petinggi negeri ini
merasa iba akan kondisi rakyatnya di kawasan yang terisolasi seperti Siberut
ini. Tetapi hal yang membuat aku merasa salut di desa ini bahwa di desa ini
tidak pernah terjadi kelaparan. Sumber makanan melimpah ruah dengan system
kekerabatan yang luar biasa bermakna.
Warga masyarakat desa Bojakan
Di desa Bojakan aku tinggal disebuah rumah dinas katanya,
kulihat kondisi rumah yang begitu sederhana. Tidak ada perabotan elektronik,
pencahayaan pun hanya sebuah lampu neon yang sudah sangat redup. Dan listrik pun akan menyala setelah
pukul tujuh malam serta hanya beberapa rumah saja yang mempunyai pencahayaan. Aku
kembali berpikir mengenai hati seorang guru yang mengabdi memberikan ilmu di
desa Bojakan ini berapa gaji yang ia terima, apakah sudah cukupkah untuk
membalas keikhlasan yang guru tersebut berikan untuk pendidikan di negeri ini,
ataukah sosok guru tersebut hanya dibayar dengan senyum ketulusan murid-muridnya
yang masih begitu polos menapaki kehidupan dunia yang begitu kuat mencengkeram
harapan-harapan mereka? Beribu pertanyaan bergelayut dalam pikiranku, serta
merongrong dengan ganasnya dan memaksaku agar selalu berpikir tentang orang
lain , Ya, berpikir tentang kehidupan di Desa Bojakan ini.
Udara malam hari begitu dingin,
angin berdesir menyapaku dengan efek tak kalah menyeramkan. Suasana yang sangat
eksotis kupikir, beruntunglah aku tidak sendiri, ditemani 2 orang kawanku
sesama mahasiswa dan satu orang pemandu dari pihak taman nasional. Rasa lapar
mulai menyambangi perutku, aku dan kedua kawanku pergi ke dapur untuk memasak.
Tidak ada kompor, yang ada hanya beberapa
batang bambu yang siap dibakar. Lagi-lagi aku berujar pada diriku
sendiri, seperti apakah sosok bu Aminah yang tinggal di rumah ini?
Makananpun sudah siap, kami
berempat makan di ruang depan dengan kondisi pencahahayaan yang sangat kurang
sehingga aku harus memakai headlamp
untuk membantu penglihatanku yang minus 4. Setelah selesai makan , kami sejenak
mengobrol di malam itu, sesekali guyonan terlontar dari pemandu kami yang memang
asli orang mentawai. Capek beradu cerita kami bergegas masuk kamar sederhana
dan memejamkan mata untuk terbangun esok hari menjemput ilmu yang akan aku
dapatkan di Desa Bojakan ini.
Anak-anak Desa Bojakan yang
sedang bermain
Minggu, tanggal 8 Juli 2012.
Dingin, itu perasaan pertama yang aku rasakan ketika sejenak membuka mata dari
tidurku. Kulihat sekeliling ruangan yang gelap itu dengan perasaan syukur bahwa
aku masih diberikan nafas untuk hidup dan mencari ilmu di desa ini. Melihat
kawanku masih terlelap dalam tidurnya akhirnya mata ini pun tidak sampai hati
untuk melihat kondisi diluar sehingga kembali terpejam dan terbuka kembali setelah
pukul 08.00. Kendati sudah menunjukan pukul 08.00 yang menurut ukuran dikota
siang, desa ini masih begitu sepi. Sesekali aku mendengar celotehan remaja yang
akan melaksanakan ibadah di gereja yang jaraknya tidak begitu jauh dari
tempatku tinggalku, hanya beberapa langkah saja untuk sampai ke gereja itu.
Masyarakat disini mayoritas memang beragama Kristen katholik. Terdapat dua
tempat peribadatan yaitu gereja untuk katholik dan gereka untuk protestan.
Gereja katholik mempunyai ukuran yang lebih besar, dikarenakan memang agama Kristen
katholik merupakan agama mayoritas di desa ini.
Gereja Katholik di Desa Bojakan
Siang harinya aku berhasil
mewawancarai 5 orang bapak-bapak yang sedang mengobrol di depan rumah salah
satu dari mereka. Tampak jelas kepulan asap rokok yang mereka hasilkan. Setelah
mengucapkan salam, aku berbasa-basi sebentar untuk mencairkan suasana. Ada yang
tersenyum, diam , bahkan ada pula yang masih memasang wajah tak mau
berinteraksi denganku. Tampak pakaian lusuh yang mereka kenakan, namun aku
dapat melihat tangan-tangan perkasa yang mereka punya walaupun salah satu dari
mereka sudah mulai renta. “Lihatlah tangan kami masih kuat-kuat, dek” kata pak
Yosafat Sakokah. Sejenak kami tertawa. Memang benar, tangan kekar yang mereka
punya merupakan bukti perjuangan mereka menapaki kehidupan di kawasan
terisolasi seperti Desa Bojakan. Hampir sebagian besar masyarakat disini
berladang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ladang mereka dipenuhi oleh
manau, cokelat, kopra. Ditambah kebun-kebun yang didalamnya terdapat berbagai
macam sayuran yang bebas diambil setelah mendapat izin dari yang punya. Sistem
kekerabatan yang begitu dalam di sebuah desa yang sederhana ini.
Bicara tentang kesehatan, aku
kembali harus menundukan kepala. Di desa ini hanya ada satu bidan untuk
melayani kesehatan masyarakat. Lagi-lagi aku berdecak kagum pada sosok bidan
yang bernama Sinta ini. Ia berasal dari Batak dan ditugaskan di Desa Bojakan
ini. Sempat aku mendengar keluhan juga dari bibirnya bahwa ia ingin segera
pindah dari desa ini, seandainya dia pindah apakah masih ada bidan yang ikhlas
ditempatkan di desa terpencil dipedalaman Siberut ini?
Hari senin, 9 juli 2012.
Seharusnya hari ini anak-anak SD 03 Bojakan masuk sekolah. Aku sudah menanti
kehadiran mereka didepan pintu. Namun, sudah pukul 08.00 wajah polos anak-anak
penerus bangsa tak kunjung kulihat. Aku malah melihat sejumlah anjing-anjing
jantan yang sedang mengejar anjing betina di pelataran SD. Jam menunjukan pukul
09.00, belum juga aku melihat anak-anak yang kuharapkan kedatangannya. Lantas
aku bertanya pada teman baruku di Desa Bojakan ini, sebuah jawaban yang
menurutku harus menjadi bahan perbincangan para petinggi kita di Jakarta. Tidak
adanya guru menjadi penyebab liburnya sekolah. Ironis mungkin jika kita menilik
dari sudut pandang pendidikan yang hakikatnya merupakan hak setiap warga
Negara, tetapi jika ditilik lebih dalam dan melihat dengan sudut pandang
kondisi di desa ini kita pun masih harus memilah-milah akan pernyataan kita
mengenai kejadian tersebut. Bagaimana tidak, kondisi yang sangat jauh menjadi
hambatan para guru untuk mengajar. Kita pun tidak dapat menyalahkan mereka
untuk kejadian tersebut, untuk mereka mau ditempatkan di desa ini saja
seharusnya kita memberikan penghargaan tiada tara. Dijaman yang menginginkan
serba otomatis orang-orang dengan pengabdian yang orientasinya ikhlas sangatlah
jarang dijumpai. Lantas jika melihat keadaan seperti ini, masihkah kita
menganggap bahwa negeri ini sedang bergerak maju kearah perbaikan ? ketika
pendidikan ditanggalkan karena kurangnya pentransfer ilmu pengetahuan?
Dengan konsidi sosial ekonomi
yang terbilang belum begitu maju ternyata memang pendidikan masyarakat di
s\desa ini sangatah kurang, dari kelima bapak yang aku wawancarai kemarin
semuanya belum tamat sekolah dasar. Bagi masyarakat disini arti penting sebuah
ilmu pengetahuan memang sudah mereka pahami, namun untuk sekolah SMP dan SMA
masyarakat harus pergi ke Muara Sikabaluan yang jaraknya cukup jauh. Ditambah
alat transportasi yang hanya bisa digunakan dari desa Bojakan hanyalah pom-pong.
Dua hari dalam balutan
kesederhanaan Desa Bojakan, memaksaku untuk kembali berpikir dalam sebuah
fantasi tentang arti kehidupan. Antara perasaan bersyukur atau berkufur atas
semua nikmat Tuhan. Desa Bojakan memberiku banyak pengetahuan tentang
perjuangan, keikhlasan, kesederhanaan termasuk ketidakadilan. Desa sederhana
ini mampu mengoyak otakku untuk selalu menyambangi sebuah pemikiran logis akan
nilai kehidupan diatas keserhanaan.
Komentar
Posting Komentar