Refleksi 14 Agustus 2016
Saya mengingat sebuah kalimat
yang sengaja saya persiapkan ketika zaman wawancara bekerja ketika ditanyakan, “Pekerjaan
apa yang kamu inginkan?”, yakni tentang sebuah kalimat berikut, bahwa “Ketika
lo kerja, gak Cuma otak lo yang terus bekerja, tapi ‘soul’ lo harus tetap
hidup.”. Sore hari, saya pegang handphone saya, tadinya saya hendak membuka
instagram, namun, karena instagram sudah saya hapus jadi saya membuka facebook
di browser saya. Sebuah link yang sengaja saya klik dan isinya cukup bagus,
disana saya menemukan quotes dari salahsatu sastrawan kepunyaan Indonesia,
yakni Seno Gumira Adjidarma. Isinya sebagai berikut,
Alangkah
mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan
jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak
menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir denan
uang pensiun yang tidak seberapa
–Seno Gumira Adjidarma-
Saya pernah berpikir bagaimana
semua yang kita punya hari ini bisa hilang begitu saja esok hari, atau bahkan
apa yang kita punya detik ini, bisa saja hilang di detik berikutnya. Who knows?
Percayalah, saya membayangkan hal itu sampai meneteskan air mata. Saya
membayangkan kehidupan yang semu tanpa tujuan, tanpa arah dan pasrah digerakan
oleh angin semaunya, atau pasrah digerakan oleh arus masyarakat. Bergerak
semaunya tanpa koridor yang jelas, memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan
bagaimana cara berbagi. Belum lama ini ada sebuah pesan dari salah seorang
kawan, “Kapan ke Makassar?”, saya menjawab, “Belum tahu, tiket pesawat mahal.”,
“Baiklah kabari kalau berencana kemari.”katanya. Mendengar sebuah kata, “liburan”
saya benar-benar membutuhkannya. Saya rindu, riuh angin yang memaksa tangan
meminta pelukan ke bagian dada, saya rindu hirupan nafas yang sengaja
dipanjangkan agar udara yang bersih berlama-lama dalam paru-paru, saya rindu
letih yang tak pernah menjadi sesal karena selanjutnya ada sebuah kepuasan yang
kudapat. Sama seperti ketika kuliah dahulu, kesemuanya saya dapatkan di luar
ruangan, bukan didalam kungkungan tembok. Percayalah, dunia luar terlalu indah
untuk dilupakan. Saya ingin mencicipi kopi dengan air yang dimasak sendiri
diatas nesting, atau makan telur yang diaduk bersama sarimi dan dibuat kering
lalu begitu enaknya ketika sampai dimulut. Transfer kebahagiaan yang dilakukan
didalam tenda, membicarakan banyak hal yang tidak penting tapi menjadi magnet
yang ampuh untuk alasan sebuah pertemuan di ketinggian. Saya ingin melakukannya
lebih dari sekali lagi. Dengan begitu, jiwa saya menjadi lebih hidup. Saya
tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa, sebab saya yakin Tuhan sangat baik hati
memberikan saya kesempatan untuk melihat keindahan kekuasaan-Nya.
Saya ingin hidup dengan nilai,
dengan orang-orang baik yang menemani saya dalam setiap keadaan. Percayalah,
kekuatan memang datang dari dalam diri kita, tapi tanpa orang lain yang membuat
lecutan kekuatan kita bisa jadi tidak akan keluar dan berkamuflase menjadi
sebuah kelemahan. Saya ingin menghirup udara yang dinginnya sampai ke ulu hati,
saya ingin berbohong pada langit bahwa saya tidak pernah mengantuk melihatnya
dengan merebahkan tubuh diatas tanah, saya rindu baunya edelwis, saya rindu
berdecitnya rel kereta api, atau tukang asongan yang memaksa agar dibeli
dagangannya. Saya ingin hidup dengan nilai. Saya tidak ingin kesepian, saya
ingin ramai. Saya ingin jiwa saya terbang sesuka saya ingin pergi kemana, saya
ingin bercengkerama dengan pepohonan. Saya membenci kemacetan.
Siang tadi salah satu sahabat
mengirim pesan, dia menanyakan buku yang masih berada di saya, kami terbiasa
untuk saling meminjam buku. Dia mengatakan beberapa kalimat yang membuat saya
semangat untuk menatap ujian esok hari, ada sesuatu yang terjadi, kami terbiasa
membicarakannya diam-diam, sampai saya berkata, “Hati-hati pembicaraan kita di
sadap”, haha. Hingga pada akhirnya kami membicarakan tentang WS Rendra, Chairil
Anwar, dan terakhir adalah sebuah film. Film rahasia tidak bisa kuberitahukan.
Ah, saya rindu berdiskusi sampai
malam. Membicarakan banyak hal, kita belagu bicara soal politik padahal kita
belum pernah jadi pejabat, kita belajar dari rekam jejak masa lalu, dari buku,
dari berita dan dari surat kabar. Saya rindu, bertukar argumen, memperkaya
pikiran tidak hanya tertunduk pada satu kesedihan. Ah, rasanya saya memang
harus kembali me’recharge’ apa yang ingin saya capai. Kemudian saya menuliskan
beberapa yang ingin saya capai dan saya pasang ditembok, biar mata saya jelas
melihatnya, biar hati saya mempunyai tekad yang kuat untuk meraihnya.
Seketika saya memandang semua
yang ada dihadapan saya adalah segala sesuatu yang fana, tentang harapan,
cita-cita, semua akan menjadi sirna jika tidak pernah diusahakan. Soal cinta,
semuanya akan pupus jika tidak saling berjuang. Soal ujian yang dalam pikiranku
akan menjadi sangat menyeramkan, kali ini aku berpikir sangat damai, bukankah
hasil tidak pernah mengkhianati proses?
Percayalah, saya dilahirkan untuk
bahagia. Dan tidak ada seorang pun yang berhak membuat saya jatuh. Lagi-lagi,
saya merasa hidup setelah menulis.
Jakarta,
14 Agustus 2016. Pukul 20.08
Komentar
Posting Komentar