Merampok Rumah Koruptor



Tidak pernah ada pembenaran atas perampasan milik orang lain-
Dua hal yang sama-sama kejahatan, tetaplah jahat sekecil apapun kejahatan tersebut dilakukan. Tapi, apakah benar kesemuanya mutlak bermuara pada suatu alasan yang sama? Kita berani mengatakan jahat pada seorang bupati yang korupsi ratusan juta dan saat yang sama juga dapat mengatakan bahwa seorang pencuri sendal di mesjid pun seorang penjahat. Keduanya sama-sama mencuri, keduanya sama-sama merampas milik orang lain, tapi mungkin caranya berbeda, ada yang secara halus dan secara kasar, dan tentunya keduanya berbeda soal nominal. Kejahatan tetaplah kejahatan, seorang koruptor atau pun pencari sendal memang sama-sama mengambil milik orang lain tanpa permisi. Tetapi, apakah balasan yang diterima keduanya harus sama? Aku tidak tahu banyak soal hukum, tapi sejak zaman dulu aku yakin bahwa keadilan adalah hukum alam yang harus segera ditegakkan dan semua manusia yang hidup di dunia ini berhak atas hal tersebut.
...
Ami masih berada di kantornya, saban hari dia tidak banyak keluar ruangan, kebanyakan menghabiskan waktu melamun dengan tatapan kosong, semenit kemudian dia menatap layar laptop dan kembali melamun. Ami masih tersudutkan dalam perdebatan tadi malam. Perdebatan panjang mengenai hukuman bagi seorang pencuri sandal yang dihukum sama dengan seorang koruptor milyaran rupiah. Geram pada penegak hukum juga geram pada dirinya sendiri yang begitu lemah karena masih diam hingga saat ini. Dia pernah menulis tentang keadilan di media massa, dan hasilnya luar biasa, setiap hari ada saja yang mengirimnya bangkai burung bahkan sampai teror di email dengan ancaman yang tidak tanggung-tanggung menyangkut nyawanya yang bisa saja hilang tiba-tiba. Orangtuanya sudah memperingatkan untuk tidak menulis macam-macam, tapi Ami merasa dia harus berbuat sesuatu.
Semakin Ami mencoba menulis dan terkesan berani, semakin banyak pula tekanan yang ia terima. Ami bersikap untuk biasa saja, tapi pikirannya terlalu biasa untuk mewajari sebuah kejahatan massal yang terjadi. Korupsi bukan budaya, tapi sekarang sudah dibudidayakan. Perampasan paksa milik orang lain dengan kedok kesejahteraan sudah terpampang nyata di media massa, permintaan fasilitas gedung mewah tampak lucu mengundang tawa, lantas bersama-sama akan tertawa dan berkata, “Belum cukup juga?”
Tiba-tiba Nirwan, salahsatu kawan Ami dalam mencari berita datang ke ruangannya. Dia membawa secangkir teh hangat yang diminta dan beberapa potong gorengan. Selanjutnya, dia duduk di kursi dekat jendela dan lurus melihat Ami yang masih belum beranjak dari posisi awal ketika Nirwan meninggalkan ruangan tadi.
“Sudahlah, tak usah dikhawatirkan. Aku akan menjaga kamu.”kata Nirwan.
“Tidak, tidak. Aku tidak butuh itu.”jawab Ami.
“Apa yang kamu pikirkan?”tanya Nirwan.
“Tidak.”jawab Ami singkat.
 “Kamu itu gila. Hukum telah bicara bahwa yang mencuri sandal harus dihukum 4 tahun penjara bukan ?”kata Nirwan.
“Tapi haruskah sama dengan seorang koruptor milyaran rupiah? Tingkat kepicikannya pun jelas jauh berbeda, masih mau menyamaratakan?.”kata Ami.
“Mi, aku tahu aku hanya teman kerjamu tak lebih tapi sungguh aku tak rela jika kamu harus berurusan dengan polisi hanya karena tingkah lakumu yang tak dewasa ini. Berulang kali kamu dipanggil atas tuduhan pencemaran nama baik, sudahlah.”kata Nirwan.
“Apa ? Kamu bilang yang aku kerjakan sekarang tak dewasa ? Kalau aku tak dewasa aku tak akan mampu berpikir sejauh ini Wan. Lagipula, pada akhirnya aku lolos juga tidak dipenjara.”jawab Ami kesal.
“Sudahlah, urungkan saja niatmu. Jadilah penulis yang beradab.”
“Oh, jadi selama ini apa yang kulakukan tak beradab ? Tulisan-tulisanku ? Kamu bilang semua karyaku itu tak beradab ?”
“Bukan, bukan itu. Ayolah Mi, aku yakin kamu itu sudah sangat dewasa jangan lakukan hal tersebut. Kamu bisa saja membela pencuri itu, tapi tetap saja Kamu tak akan bisa membebaskan pencuri sandal itu.”
Ami berdiri . Ia tatap mata Nirwan tajam dan segera keluar dari ruangan kerja mereka. Nirwan pun mengikuti Ami dari belakang. Sambil menyamakan langkahnya dengan gadis tomboy itu, Nirwan berusaha menasehati Ami bahwa semua yang akan ia lakukan akan sia-sia saja. Apalagi berurusan dengan hukum yang ‘galau’ di negeri ini.
Ami menghentikan langkahnya dan menghadap tepat kearah Nirwan.
“Wan, kamu yakin aku sudah dewasa kan ? Kamu yakin aku mampu membedakan mana yang baik dan buruk untuk hidupku? Gampang, kamu tak usah banyak ikut campur untuk urusanku yang satu ini.”
Nirwan mengalah, padahal dari wajahnya tersirat kekecewaan yang teramat besar pada gadis yang telah menjadi sahabatnya 2 tahun belakangan ini.
“Baiklah Mi. Terserah kamu !”kata Nirwan kesal.
Tanpa menanggapi pernyataan Nirwan, Ami langsung pergi meninggalkan Nirwan yang masih mengusap wajah karena kesal padanya.
Ami adalalah gadis tomboy yang berusia 21 tahun. Seorang mahasiswa jurusan Jurnalistik . Ia terkenal sebagai seorang anak yang mudah bergaul dan tentunya mempunyai bakat luar biasa dibidang jurnalistik. Buktinya, salah satu media cetak nasional mengajaknya untuk bergabung menjadi seorang wartawan walaupun masih magang. Tulisan-tulisan yang ia buat sangat menggugah hati masyarakat, kebanyakan berisi nasihat-nasihat bahwa sebagai pemuda kita harus bergerak dan tak melulu menaati kebijakan-kebijakan yang sekiranya ‘konyol’, dalam tulisan-tulisannya Ami menyuarakan untuk berani menegakkan kebenaran, apapun balasannya termasuk kematian. Kemampuannya dalam menulis berita pun diacungi jempol oleh senior-seniornya, bahkan redaktur hampir tak pernah mengatakan tak suka pada berita yang ia tulis.
“Brukkkk” tong sampah terguling karena terkena kakinya ketika ia berlari menuju kantin kantornya.
Saat itu langit sedang panas-panasnya, bahkan Pak satpam yang biasa berkeliaran memilih untuk berteduh di posnya. Sementara Ami dengan khusyuk sedang memungut sampah yang dijatuhkan tadi. Sesekali ia mengelap keringatnya dan memandang sekeliling.
Akhirnya ia telah selesai memasukan sampah-sampah tersebut ke tempatnya. Saat hendak mencuci tangan, matanya secara tak sengaja difokuskan pada seorang bocah laki-laki berbaju lusuh dipinggir jalan. Tampak jelas anak laki-laki tersebut sedang menangis . Niat awal mencuci tanganpun berganti menjadi niat untuk mengetahui apa yang terjadi pada anak kecil tersebut. Tanpa rasa jijik melihat kondisi anak laki-laki itu, Ami langsung duduk disampingnya.
“Dek, mengapa diam dipinggir jalan ? Tuh ada kursi didepan tempat kerjaku. Disana saja duduknya.”kata Ami. Anak laki-laki itu menggeleng.
“Kenapa? “tanya Ami.
“Kamu lapar yah?”lanjut Ami. Anak kecil itu tak menjawab.
“Hmm, kamu diajarkan untuk menghargai lawan bicara kan sama orangtuamu ?”
“Ya.”kata anak itu. “Jawablah pertanyaanku.”kata Ami.
“Tidak mengapa, Kak. Aku pergi dulu, Kak.”kata bocah tersebut. Namun, tangan Ami lebih sigap untuk menahan langkahnya. Bocah tersebut kembali duduk lalu menunduk.
Ami mengajak berkenalan dengan mengangkat tangan mengajak bersalaman.
“Amyta Akela . Panggil saja Ami.”kata Ami.
Anak kecil tersebut melihat wajah Ami , lalu kembali menunduk.
“Tanganku kotor, kak.”kata anak tersebut.
“Oalah, tenang saja masih banyak air dimuka bumi ini untuk sekadar mencuci tangan, Dek. Tangan kita sama-sama kotor, aku habis memunguti sampah yang kujatuhkan”kata Ami tertawa.
“Wahid, Kak.”kata anak kecil yang kira-kira berusia 7 tahun tersebut.
“Kamu kenapa diam disini?”tanya Ami.
“Aku sedang cari makan, Kak. Lapar.”
“Tuh kan, aku tanya tadi kamu pasti lapar tapi amu tak jawab. Ayo berdiri !”
Wahid melihat Ami . “Kemana kak ?”tanya Wahid.
Tanpa perasaan sungkan, Ami langsung menggandeng anak laki-laki itu dan mengajaknya makan di kantin kantornya. “Kak, aku boleh bercerita ?”kata Wahid.
Ami menatap wajah Wahid lekat-lekat. Ia melihat mata Wahid yang sedang memikul beban berat. “Ceritalah, aku siap mendengarkan.”kata Ami.
“Aku kasian sama Bapak. Tiap hari ia harus kerja untuk aku , ibu dan dua adikku. .....”sebelum sempat menyelesaikan ceritanya Wahid malah menangis.
“Teruskan, masa laki-laki lemah !”kata Ami menyemangati.
“Malam ini Bapak akan mencuri sebuah rumah mewah di komplek depan kak. Bapak bercerita bahwa ia sebenarnya tak ingin melakukan hal tersebut,tapi apa boleh buat tunggakkan sppku dan biaya makan memaksa Bapak untuk melakukannya.”
“Dimana rumahmu?”
“Dibelakang perumahan mewah Anjar Sari kak, rumahku dari sisa papan. Kenapa?”
“Nanti malam, Kamu temui aku disini. Setelah itu kita akan mencegah pencurian yang dilakukan Bapakmu.”
“Mana bisa kak ? Pencuriannya dilakukan banyak orang. Bapak terpaksa melakukannya karena memang untuk kebutuhan makan. ”
“Bisakah kamu peringatkan Bapakmu untuk tidak ikut? Yang dia dapat hanyalah penjara nantinya, apalagi orang kecil seperti kita.” Kataku pada Wahid.
Mendengar suara Ami yang penuh dengan keyakinan Wahid pun mengangguk mantap. Setelah bersalam dengan Ami ia pamit untuk kembali memungut sampah yang menjadi pekerjaannya. Wahid berjalan lemah, sepertinya anak kecil itu sangat berat memikul beban hidup. Untuk seusianya, harusnya ia menghabiskan waktu bermain bersama anak-anak sebayanya, berlari mengejar layang-layang, atau bermain sepeda. Sayang, semuanya itu mustahil bagi Wahid. Tidak sampai keinginannya untuk jajan ice cream di mall atau bermain ice skating sambil tertawa lalu terjatuh, yang dia pikirkan mungkin hanya bagaimana agar Bapaknya tidak jadi ikut dalam aksi perampokan nanti malam.
“Oh Tuhan, haruskah negeri ini isinya anak-anak tak berdosa yang dibodohkan oleh yang namanya keadaan ? Atau haruskah aku kembali menjadi anak kecil dan aku serukan pada teman-teman kecilku untuk terus berjuang sekolah tanpa bekerja diusia sekolah mereka? Tapi susah, uang untuk makan lebih berharga dari ilmu yang harus mereka .”Ami menunduk lesu.
Jam menunjukkan pukul 21.39 , tapi Ami belum melihat tanda-tanda kedatangan Wahid. Ia memutuskan untuk menunggu lebih lama lagi. Sampai pukul 01.00 Wahid tak kunjung datang. Ami sempat berpikir apakah ia telah dibohongi oleh bocah ingusan itu. Tanpa pikir panjang ia berlari menuju rumah Wahid walaupun ia tak tahu persis dimana lokasinya. Namun, belum sampai dirumah Wahid ia melihat keramaian di sebuah kompleks perumahan mewah yang ia lewati. Banyak polisi ditempat tersebut, suara sirene pun berbunyi tanpa henti. Ami segera berlari dan menemukan seorang anak kecil sedang menangis, merintih agar Bapaknya tak dibawa oleh polisi. Anak kecil itu adalah Wahid, ia berteriak sambil menendang-nendang polisi tersebut untuk melepaskan Bapaknya.
Ami segera mengambil tubuh Wahid agar tidak terkena pukulan bodyguard-bodyguard dari sang pemilik rumah.
“Kemari”kata Ami. Tapi Wahid lebih memilih untuk berada di dekat sang Bapak. Sepertinnya, Bapaknya Wahid sudah menerima pukulan beberapa kali sebelum aku datang, dari bibir sebelah kirinya terlihat ada warna merah yang diyakini itu darah.
“Siapa yang melaporkan semua ini ? “tanya Ami berteriak didepan wajah polisi tersebut. Semua pelaku pencurian dikumpulkan didepan rumah dan seketika suasana menjadi hening, yang terdengar hanya isakan tangis Wahid sambil memeluk Bapaknya.
“Saya tanya, siapa yang melaporkan ini?”tanya Ami.
Polisi tersebut bingung dan tak ada yang menjawab. Lalu, salahsatu dari mereka masuk kedalam rumah dan memanggil atasannya.
“Saya tanya, siapa yang melaporkannya?”Ami berteriak.
Tiba-tiba seorang polisi yang sudah agak tua keluar dari rumah tersebut.
“Selamat malam, Nona. Saya mendapatkan laporan dari pemilik rumah ini.”kata polisi tersebut.
“Kerja yang baik Tuan, saya sangat mengapresiasi apa yang telah Tuan dan tim lakukan. Kerja yang cepat dan langsung tertangkap pelakunya.”kata Ami.
“Terimakasih, Nona.”kata Polisi tersebut.
“Tapi apakah Tuan bisa melakukan hal yang sama?”tanya Ami.
“Untuk apa Nona?”tanya pak Polisi.
“Untuk kasus pencurian juga.”jawab Ami.
“Pasti Nona. Segala bentuk kejahatan akan kami tindak seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku.”jawab Polisi.
“Anda yakin?”tanya Ami.
Polisi tersebut memasang wajah tidak suka pada Ami.
“Ya.”jawabnya singkat.
“Baiklah, kuceritakan. Dengarkan baik-baik. Setiap hari, jutaan masyarakat negeri ini ada yang menangis, mereka menggerutu tapi secara halus karena bisa jadi mereka tidak punya handphone untuk melapor. Mereka mungkin sadar bahwa apa yang menjadi haknya telah dirampas paksa oleh seseorang bahkan kawanan, mungkin.” Kata Ami.
“Maksud Nona? Saya tidak mengerti.”kata Polisi.
“Mereka adalah rakyat dari negeri ini yang setiap hari melapor pada Tuhan bahwa ada sebuah kejahatan yang terjadi. Para wakil yang disangka-sangka akan menyejahterakannya tiba-tiba melakukan korupsi dengan mengambil paksa uang yang seharusnya menjadi milik rakyat. Uang-uang tersebut masuk ke dalam pundi-pundi kantong pribadi untuk memperkaya diri sendiri dan urusan rakyat dipikir nanti. Mereka juga pencuri, bukan?”tanya Ami pada polisi tersebut.
Polisi tersebut diam.
“Tadi Anda sudah menyatakan bahwa akan bertindak menumpas kejahatan dengan adil, berlakulah seperti ucapan Anda. Jika Anda bisa bergerak cepat untuk kasus pencurian seperti ini, sudah selayaknya Anda bertindak jauh lebih cepat untuk kasus korupsi. Anda tahu korbannya?”tanya Ami.
“Jutaan rakyat, bukan hanya satu individu saja.”lanjut Ami.
“Silahkan tangkap mereka yang malam ini hampir mencuri sepeda motor di rumah pejabat ini, bagaimanapun mereka telah melakukan perampasan barang milik orang lain. Tapi ada syaratnya.”kata Ami.
“Kenapa Anda yang memberi kami syarat, Nona?”tanya Polisi tersebut.
“Anda tahu tentang keadilan? Anda pasti sudah cakap bukan? Tak harus aku ceritakan definisi adil seperti ini, sudahlah aku tidak tahu banyak tentang hukum. Tapi bagaimana pun keadilan adalah hak setiap warga negara.”kata Ami.
“Tangkap juga penjahat-penjahat yang masih berlenggang indah dengan dasi-dasi mewah disana, bukankah kejahatan mereka lebih banyak? Dan korban mereka itu jelas lebih banyak pula?”kata Ami.
Polisi tersebut diam.
“Ini adalah rumah seorang pejabat yang korupsi uang negara sebesar 567 Milyar.”
Semua orang yang menyaksikan kejadian tersebut diam. Tak ada yang berani berkata.
Ami menyodorkan tangannya untuk diborgol , namun, polisi tersebut malah terlihat bingung.
Semua diam, tak ada yang berkata lagi. Ami memeluk tubuh kecil Wahid lalu sepi. Senyap dan gelap.
“Dorrrrrr!” sebuah tembakan tepat menyasar dada Ami. Ami tersungkur wajahnya mencium aspal.
Darimana asal tembakan itu?
-vm-

Sedih saya, beberapa hari yang lalu seorang laki-laki di Bogor ditangkap oleh karena mencuri sepatu di mushola stasiun. Sayangnya, yang dia diperlakukan sangat kurang baik, padahal ia hanya mencuri sepatu. Saya tidak menyatakan bahwa yang dia lakukan adalah benar, mencuri ya tetap saja mencuri, tapi mari kita membuka mata, koruptor juga mencuri, tapi kita seperti sama-sama tutup mata, mana ada koruptor yang diciduk dipermalukan sama seperti pencuri sepatu tersebut.Huft.

Komentar

Postingan Populer