Gulita Kolong Jembatan
Selamat malam, Semesta
yang anggun. Selamat menyiapkan tidur yang penuh bahagia, yang didalamnya tiada
mimpi buruk, yang ketika bangunnya ada beribu kesenangan siap menyapa. Apakabar
Semesta yang meniup gaduh problema sederhana hingga yang pelik? Dari tingkah
manusia yang polos sampai tingkah manusia yang picik. Segenggam rindu yang
ditabuhkan rintikkan hujan yang tiada pernah mengaduh meski berulang kali
terjatuh. Bumi yang semakin pesakitan dan penghuninya yang lupa bagaimana cara
berterimakasih, khalayak ramai senang bergurau, saling mengejek, saling
mengumpat, saling menghina, hanya beberapa yang berbagi kasih sayang.
Peluru-peluru rindu yang diteriakkan sebagian orang, yang tiada berbalas dari
yang dirindukkan. Tuhan, aku masih berkeluh kesah dipinggir jalan dekat temaram
lampu merah. Dengan liar kuisap polusi-polusi sialan yang tiap hari membuat
paru menjadi sarang penyakit, berjuta-juta orang terkena TBC, berbagai kegiatan
digalakkan untuk meminimalisasi polusi yang ada, hasilnya masih banyak yang
secara terpaksa menghirup polusi yang tak pernah dibuatnya. Tuhan, aku ingin
menutup mata dan engkau dengarkan saja isi hatiku, biasanya kuceritakan pada
secangkir kopi panas yang kuseduh sebelum purnama datang, tetapi sekarang
dengarkan aku yah, Tuhan. Meski aku sangat malas bicara, raba saja isi hatiku,
Engkau Maha Tahu segalanya. Malam memang waktu yang empat untuk bercerita
apapun tentang hidup, dalam waktunya menuju pagi, malam tiada pernah ingkar
janjimemberi damai yang diingin tiap-tiap manusia yang telah lelah bekerja
seharian. Jaring-jaring nelayan yang ada ditepian pantai, gasrok-gasrok usang
milik petani yang ditinggal di saung dekat sawah, pulpen-pulpen mahal yang
dijaga manusia yang katanya kerja dikantoran untuk sekadar membuat tanda
tangan, juga stir-stir mobil taksi yang diparkir ditepian jalan-jalan. Malam
waktunya bercerita, pada langit gelap yang paling bisa menjaga rahasia, yang
paling setia menerima kritik karena terkadang malam memberikan dingin sehingga
terkadang terlalu menyenyakkan tidur hingga lupa menikmatinya.
Beberapa orang masih
membawa karung-karung besar, seorang bapak dengan kumis tebal dan wajah lusuh
menuntun seorang bocah kecil disebrang jalan. Tampak romantis, apalagi sesekali
bapak tua tersebut mengelus kepala sang bocah. Lampu merah menyala, sang bocah
melepaskan tangan dari bapak Tua, ia menuju ketengah jalan, mengetuk-ngetuk
kaca mobil mewah. Demi apa Tuhan? Sang empunya mobil-mobil mewah itu tak pernah
membuka kaca. Lampu berwarna kuning sang bocah kembali ke sang bapak. Kulihat
dari kejauhan, dua laki-laki berbeda usia membereskan kardus-kardus yang telah
dikumpulkan, aku akan mendekat setelah lampu merah selanjutnya. Tuhan, Kau
melihatnya bukan? Ayah dan anak. Tuhan, maukah Kau kembali mendengar isi
hatiku? Tentang jerit-jerit hati seorang Ibu yang menunggu suaminya pulang
bekerja sebagai pemulung yang mengais anaknya yang sedang sakit panas? Tetapi
sang suami datang tanpa membawa uang, dieluslah kepala suaminya lalu berkata, “Abang
istirahat, besok akan lebih baik”. Atau, Engkau mau mendengar cerita tentang
gadis-gadis metropolitan yang bermake-up tebal, berpakaian warna-warna, sepatu
hak tinggi, dan mobil-mobilnya? Yang dalam perjalanan menuju mall lantas
tertawa-tawa, saling memotret wajahnya yang mengkilat seperti berlian? Atau,
mungkin Engkau ingin mendengar seorang laki-laki muda duduk diatas jembatan,
mendengarkan desah malam, lalu menyeruput secangkir kopi. Tuhan, lihat aku
masih memperhatikan dua laki-laki didepanku yang sebenarnya tak punya ikatan
darah sekalipun. Mereka kembali berjalan, menyusuri jalanan Ibukota yang tak
pernah gelap, kendaraan terus berlalu-lalang, menghiasi jalanan yang tabah
dilindas setiap saat demi orang-orang. Aku mengikuti mereka, mencoba mendengar
apa yang mereka bicarakan. Sayang seribu sayang, suara kendaraan lebih dominan
dan aku hanya mengikuti saja, tiada pernah menikmati pembicaraan mereka. Masuk
kedalam sebuah gang, gelap tiada penerangan. Tuhan, ini menuju tempat kumuh
yang pernah kulihat dalam berita. Berulang-ulang diberitakan, tak kunjung ada
perubahan. Para pemangku jabatan yang ketika kampanye dengan heroiknya akan
memberikan rumah susun untuk para gelandangan, kini seakan terkena penyakit
anemia massal. Ah, sudahlah tak usah kuceritakan bagaimana kondisi tempat
tinggal, yang ingin kuceritakan pada-Mu Tuhan, dirumah yang bedindingkan papan
triplek bekas dan dilindungi asbes bekas potongan pembangunan gedung-gedung,
ada banyak kasih sayang. Dalam gulita kolong jembatan, sebuah keluarga membuat
istana sendiri dengan kasih sayang, sang Ibu menjaga anak, sang Bapak pergi
bekerja. Tuhan, kulihat keluarga ini cukup romantis dalam kesederhanaanya. Penerangan
hanya sebatas lampu cempor kecil yang dipasang pada paku di sebuah tiang kayu
depan rumah mungilnya. Anaknya banyak, Tuhan, yang paling besar berusia 19
tahun dan putus sekolah, yang paling bungsu masih digendongan sang Ibu, berusia
14 bulan. Ada 6 orang anak, mendiami rumah kardus yang mereka imajinasikan
sebagai istana.
Tuhan, aku pernah
mendengar cerita tentang kasih sayang. Yang disebabkan olehnya, manusia-manusia
dibumi ini dapat merasakan bahagia. Yang terkasih yang dilanda rindu, pada
kasih sayang yang tak pernah mengusang pada sebuah titik temu. Kasih sayang
yang membuat mereka begitu kaya dengan segala keterbatasan yang ada, tetapi
Tuhan, hidup dalam keadaan seperti demikian membuat sang Bapak bersedih juga. Pada
saat sang Bapak sedih, disitu keluarga tersebut merasakan gulita yang nyata,
gulita yang hadirnya dalam hati karena lupa mengucap syukur padaMu, bukan?
Tuhan, gulita kolong jembatan ternyata memang ada, hampir ditemukan pada
manusia-manusia yang belum mengucap syukur atas apa yang telah dipunya. Yang
telah kaya namun tak bahagia, yang punya banyak anak tetapi merasa terbebani
membiayai. Gulita kolong jembatan nampak pada mereka yang tidak tahu definisi
kasih sayang dalam hidup, pada mereka yang lupa cara berbuat baik pada sesama,
pada mereka yang lupa belajar tentang menikmati hidup yang telah dimulai sejak
Tuhan memberi nyawa pada janin usia empat bulan. Gulita kolong jembatan mungkin
ada padaku, padamu, pada kalian semua. Fase dimana harus belajar menghidupkan
api agar tak selamanya menjadi gulita, bukan?
Komentar
Posting Komentar