Day 1 : Am I Coming, Madiun?



SiorangUtanKeren’s Journey : Nine Days in East Java

“Bagaimana bisa seorang manusia hanya diam disebuah tempat, sementara manusia lain berloba-lomba melakukan sebuah perjalanan untuk menunjukkan kualitas hidup, yakni bisa berbahagia” – Via Mardiana
Teman-teman yang saya cintai, kebetulan sejak 16 Maret sampai 24 Maret yang lalu saya melakukan travelling bersama sahabat saya. Selama 9 hari tersebut saya melakukan perjalanan di Jawa Timur, mengunjungi beberapa objek wisata dan tentunya pantai-pantai yang menjadi tujuan utama saya melakukan perjalanan ini. Ceritanya diawali ketika otak ini merasa jenuh dengan rutinitas ‘menunggu’ kepastian sang dosen yang tiada kunjung memberikan hasil revisi proposal saya, alhasil jurus nekat saya ternyata masih ada dan saya membeli tiket kereta tanggal 30 Maret 2015 dengan tujuan Madiun. Namun, dipikir-pikir ternyata 30 Maret terlalu lama untuk saya tunggu, setelah melakukan perdebatan yang alot dengan hati akhirnya saya memutuskan akan berangkat tanggal 15 Maret dan sayangnya tiket kereta ekonomi pada hari tersebut telah ludes terjual, dengan perasaan sedih (sedikit) saya mencoba mencari hari lain dan didapatlah tiket kereta api Gaya Baru Malam Selatan pada tanggal 16 Maret 2015 dengan tujuan Madiun. Hasil diskusi bersama sahabat saya pula akhirnya kami memutuskan beberapa kota yang akan kami singgahi, yakni Malang, Probolinggo dan Banyuwangi. 

Am I Coming Madiun? 

Pagi itu sekitar pukul 06.30 diantar sang kekasih saya pergi ke stasiun Bogor untuk selanjutnya menuju stasiun pasar senen. Kebetulan kereta Gaya Baru Malam berangkat pada pukul 10.42, jadi aku masih punya waktu beberapa jam untuk sampai di stasiun pasar senen. Akhirnya, sekitar pukul 09.00 aku sampai di stasiun pasar senen, sendirian. Dilihat sekeliling suasananya riuh, orang-orang hilir mudik, ada yang membawa kardus-kardus besar, ada yang membawa jinjingan ditangan kanan dan kirinya, ada pula yang masih menyusui anaknya ketika pemeriksaan tiket. Tetiba seseorang bertanya padaku, “Mbak, ini naik GBM kan?”, “Iya Bu”. Setelah melewati pemeriksaan, akhirnya saya menunggu kereta di kursi tunggu. Masih sama, orang-orang riuh dengan kegiatan masing-masing. Inilah ‘esensi’ pergi sendiri, seperti orang hilang apalagi perempuan. Seringkali yang bertanya menanyakan hal yang sama, “Lah, sendirian dek?”, aku hanya menjawab dengan senyuman lalu ada salahsatu dari mereka yang bilang, “Jagoan”, “Neon yah pak, haha”. Aku sadar, perjalanan seorang diri memang terlalu banyak resikonya, tapi toh aku hanya tinggal naik kereta duduk dan menikmati perjalanan saja, kan? Pikirku tidak akan ada macam-macam, kecuali kalau tiba-tiba keretanya terguling (Amit-amit), tetap positive thinking saja. Melakukan perjalanan sendiri dan kebiasaanku yang cuek bukan berarti aku tidak waspada, mata selalu awas untuk mengamati gerak-gerik sekitar, dan yang selalu aku percaya adalah ketika kita berbuat baik pada orang lain maka kebaikan juga akan terus menyertai kita dimanapun kita berada, maka janganah ragu-ragu untuk berbuat baik, teman-teman. Ini bukanlah perjalanan pertama kalinya yang saya lakukan dengan seorang sendiri, beberapa bulan sebelumnya saya melakukan perjalanan Malang-Jakarta sendiri dan sudah seperti anak hilang ditinggal rombongan, hehe. Akhirnya tepat pukul 10.42 aku berangkat menuju Madiun dengan menggunakan kereta Gaya Baru Malam Selatan, masih sendiri. Awal-awal perjalanan aku menatap keluar jendela lekat-lekat, melihat orang-orang di stasiun yang sudah mulai tak nampak. Pergi, akan jauh, hai perjalananku dimulai.
Kalian tahu apa yang membuat gesekan antara kereta dan rel begitu romantis? Coba kita cermati dengan seksama dari fungsinya. Kereta ini mempunyai banyak gerbong, gerbongnya saling mengait satu sama lain, hal yang penting dari sebuah kereta adalah lokomotif, bukan begitu? Lalu, bagaimana jika sebuah kereta dengan kondisi yang baik dengan lokomotif yang baru tetapi dia tidak membawa penumpang, apakah kereta tersebut telah melakukan sesuatu? Seperti mengantarkan orang-orang yang hendak bertemu keluarganya dirumah. Tapi, lokomotif tanpa masinis apakah bisa beroperasi? Tentu tidak. Tapi lebih jauh lagi yang paling penting adalah adanya sebuah rel. Kereta tanpa lintasannya tentu hanya akan menjadi seonggok besi yang tak bisa digunakan mengangkut para penumpang. Analoginya adalah bagaimana seorang manusia dapat menjadi jembatan penghubung kebahagiaan orang lain. Bukan begitu? Tidak peduli seberapa berat memikul beban dar kereta dan para penumpang, rel tetap sabar memberikan kebahagiaan dan mengantarkan peumpang ke tempat tujuannya. Bukankah keberhasilan hidup kita juga salahsatunya dapat terlihat dari seberapa banyak orang yang telah kita bahagiakan? Seperti kata Mahatma Gandhi, ‘Kebahagiaan terletak dari seberapa banyak kita memberi, bukan dari seberapa banyak yang kita miliki’.

Kereta melaju dengan syahdu, aku mendengarkan lagu jalan-jalannya dari shaggy dog pas dengan suasana hati. Tetiba salahsatu penumpang didepanku mengajakku mengobrol. Katanya bapak tersebut akan menghadiri suatu pertemuan bersama rombongannya, wajahnya hitam, hidungnya mancung, tapannya tajam, orangnya tinggi menjulang dan cara bicara terlihat kalau dia punya isi kepala yang tidak dapat diremehkan. Tapi tenang, obrolan kita didalam kereta bukan sekedar perpolitikan yang muram di negeri ini, atau presiden yang kurang tegas, juga tentang begal-begal yang menjadi headline news di tiap-tiap koran nasional, tetapi seputar enak apa tidak naik kereta. Mengobrol kesana-kemari suasana menjadi cair, seperti sudah kenal sejak lama. Saat itu sekitar pukul 7 malam kereta sampai di Jogjakarta, aku ternyata tertidur lelap hingga tersadarkan oleh suara riuh penumpang bapak-bapak yang keluar katanya untuk merokok. Penumpang didepan kursiku pun telah berganti orang, bapak-bapak tadi pindah bersama rombongannya dibelakang dan bergantian dengan seorang Ibu dengan perawakannya yang tidak kecil namun tidak kalah ramah juga. Tidak lama dari itu kereta kembali melaju. Berirama mengikuti detak jantung tiap-tiap manusia didalamnya, termasuk detak jantungku. Kereta akan berhenti di beberapa stasiun untuk menaikkan dan menurunkan penumpang sampai pada suatu ketika suasana gerbong dibelakangku tepatnya gerbong 4 menjadi sangat riuh, beberapa orang dari gerbong 3 menuju ke gerbong 4 dan suasana terlihat sangat panik. Petugas berjalan dengan sangat cepat tetapi tak seorang pun yang menjawab ada apa yang terjadi. Entahlah, suasana saat itu sangat mencekam, pikirku mungkin terjadi masalah pada keretanya. Lalu salah seorang bapak yang tadi sempat berlari menuju gerbong 4 berkata, “Sudah lewat”. Ada yang berkata, “Teman saya dokter,”. Aku semakin penasaran, ada apa ini? Apa yang sudah lewat? Keretanya kenapa? Berhubung didepanku ada Ibu-ibu kami sama-sama penasaran dan saling bertanya, “Ada apa ya Bu? Kok mencekam begini.”kataku, Ibu yang memakai jilbab hijau panjang menjuntai itu menjawab, “Tidak tahu dek, sudah tenang duduk saja disini.”. Penasaran, akhirnya aku mencoba berdiri dan bertanya pada sekumpulan bapak-bapak di kursi dekat toilet. “Ada apa pak?”, “Itu dek, ada yang meninggal di gerbong 4.”. Seraya mengucap, “Inalillahiwainailahirojiun” aku lemas juga mendengarnya. “Meninggalnya kenapa pak?”, “Persisnya sih saya tidak tahu, tapi itu sepertinya bapak yang tadi ngopi bareng sama saya, katanya sih sesak napas terus merokok di luar tadi”. Ya Allah, maut tak mengenal dimana tempatnya, apakah tempat mewah atau tempat kumuh, disebuah diskotik atau disebuah masjid sedang bersujud, juga tidak mengenal karena tertabrak atau bahkan sedang tertidur. Maut datang tanpa ada awalan permisi dan kita tidak pernah tahu kapan ia akan datang. Aku kembali duduk di kursi, saat itu sudah sampai di stasiun Geneng, sebentar lagi kereta akan sampai di stasiun Madiun dan katanya jenazah almarhum akan diturunkan di stasiun Madiun karena termasuk stasiun yang cukup besar. Sekitar pukul 23.30 kereta sampai di stasiun Madiun aku masih lemas sebenarnya, sambil berjalan pelan-pelan aku melihat ke arah gerbong 4. Gerbong terakhir yang ditumpangi seorang anak manusia yang menghembuskan nafas terakhir disana, tanpa satupun keluarga yang menemaninya. Doaku, semoga bapak tersebut ditempatkan ditempat terbaik disisi Allah. Amin

Sudah kubilang, setiap perjalanan selalu memberikan pelajaran. Hari itu, 16 Maret 2015 aku belajar banyak, dua pelajaran penting mengenai setiap ketidakmengenalan akan menjadi sebuah perkenalan dengan rasa ramah yang kita tunjukkan, hingga akhirna suasana yang awalnya kaku menjadi sangat cair, dan yang kedua adalah pelajaran mengenai hidup dan matinya manusia, tidak mengenal tua atau muda, sedang sakit atau sehat, dan dikereta api kelas ekonomi atau di pesawat Garuda kelas eksekutif. Am I Coming Madiun? Yes, Im here, Madiun. Aku sampai di stasiun Madiun dan langsung bertemu dengan orangtua dari sahabatku, Merind.

Komentar

Postingan Populer