Seandainya : Pada suatu selasa dibulan Maret
'Pada suatu selasa dibulan Maret, terciptalah cerita ini '
Senin, 30 Maret 2015.
Sekitar jam 02.00 mata ini masih
terbuka lebar, ditemani sajian musik dari winamp laptop aku melewati malam
dengan bersenandung kecil. Sudah pagi, pasti orang-orang telah damai dalam
lelap tidurnya, bersama mimpi-mimpi singkat entah itu mimpi bahagia atau mimpi
buruk dikejar setan, intinya sudah tidak ada aktivitas orang lagi selain aku
yang masih terpaku pada layar laptop. Sesekali merebahkan tubuh yang memang
cukup letih, lalu melihat layar handphone berharap ada sebuah pesan yang memberikan
emotion senyum atau beberapa hurup yang merangkai kata ‘semangat’, tapi itu
hanya sedikit harapan diantara banyaknya harap yang menggelayut dalam pikiran.
Aku berharap cepat pagi dan aku tidak usah tidur terlebih dahulu, entahlah
merasa terlalu kuat untuk menahan tidur pagi itu. Otak terus berpikir mengenai
banyak hal, yang kutakutkan hanya ‘overthinking’ , sesekali juga
membolak-balikan sebuah novel keramat berjudul ‘Mahameru Bersamamu’,
bagaimanapun dia (Mahameru) menjadi salahsatu penyemangat kenapa aku harus
segera menyelesaikan proposal penelitian ini. Nyatanya, waktu berjalan lambat
dan pagi sangat lama menyapa, aku kembali menatap layar laptop tajam, memainkan
kacamata sampai berada diatas hidung lalu menjatuhkannya dengan menundukkan kepala.
Aku jenuh? Aku belum bisa menjawab sebenar-benarnya apa yang terjadi pagi itu.
Pikiranku sedang liar-liarnya, memikirkan hal apapun untuk menjadi bahan
stimulasi pada otak untuk tidak beristirahat, kebiasaan yang buruk padahal.
Siang harinya sebelum pagi itu,
tanggal 29 Maret 2015 aku seperti berada dalam keautisan sendiri, mencoba
mencari rumus untuk menghitung dosis asam askorbat untuk bahan penelitian.
Berlembar-lembar kertas kupakai nyatanya dosis yang tepat tak dapat kutemukan,
sampai pada suatu titik aku merasa jenuh dan diam sebentar namun, kembali
berkutat dengan kertas-kertas itu. Pada akhirnya aku mendapatkan sebuah nilai
untuk dosis asam askorbat dan beberapa detik kemudian aku pastikan bahwa dosis
tersebut tidak masuk akal, mana mungkin memberikan asam askorbat sebanyak 51
gram pada kemasan sedangkan batas untuk pedoman pemberian asam askorbat pada
pisang hanya 2 %. Dengan sigap aku segera memperbaiki metode berkali-kali. Aku
kembali membuka coretan-coretan malam sebelumnya, bagaimana bisa aku hanya
diberikan dasar tentang respirasi dua komoditas, itu saja, tidak lebih dan aku
harus menghitungnya. Tidak, aku tidak akan mengeluh hanya karena hal seperti
ini, tapi sejujurnya aku sekelebat berpikir , ‘apakah orang lain juga sama
seperti ini? Kok terlihat mudah-mudah saja’, ah tak pantas bagiku untuk
membanding-bandingkan individu kupikir ini adalah jalanku dan jalan ini sudah
aku pilih sejak jauh-jauh hari tentu aku harus menerima semua konsekuensinya.
Konsekuensi untuk tetap berada pada koridor yang pantas untuk berjuang hingga
aku lupa nanti pedihnya perjuangan. Hari itu berlalu dengan wajah kucel,
pikiran kemana-mana, dan sebuah pesan singkat yang tidak bisa kuceritakan.
Kembali ke pagi pada tanggal 30
Maret, akhirnya sekitar pukul 03.00 aku selesai mengerjakan proposal penelitian
yang kuyakini sudah maksimal, sudah kuganti yang harus diperbaiki dan kubenahi
yang harus dibenahi, aku pastikan sudah maksimal, lalu aku meng’copy’nya kedlam
flashdrive dan siap untuk tidur. Nyatanya, mata ini belum bisa terpejam,
kulihat kembali layar handphone dan pikiranku melayang, jatuh pada bahasan
tentang ‘perjuangan’. Ah, kupastikan perjuangan ini belum seberapa, nyatanya
aku masih bisa mengatasinya tanpa harus berdarah-darah bukan? Berarti ini masih
dalam tahap awal perjuangan dan menggerutu tidak akan menyelesaikan perjuangan
yang baru dimulai. Pikiranku melayang pada sebuah pembahasan tentang perbedaan
perjuangan setiap manusia di dunia ini. Ada yang merasa mudah menjalani hidup,
ada yang merasa kesulitan, juga ada yang merasa hambar dan tidak merasakan hal
berarti dalam hidup, dan yang terakhir kupastikan adalah orang-orang yang tidak
mempunyai visi hidup yang jelas atau dengan kata lain dia masih ragu untuk
mengambil sebuah resiko demi sebuah perjuangan yang besar. Orang-orang tersebut
berada pada kumpulan orang-orang yang merasa hidupnya begini-begini saja, hal
tersebut dapat menjadi indikator bahwa ia belum melakukan apa-apa yang berarti
dalam hidupnya , atau bisa juga karena level untuk memberikan arti pada
hidupnya dibawah level atas kualitas dirinya. Tapi percayalah, masing-masing
manusia sudah tahu definisi perjuangan yang jelas sebelum ia memutuskan untuk
berjuang.
Tidak ingat aku memulai tidurku
tapi suara adzan telah membangunkanku dengan lembutnya, panggilan Tuhan yang
syahdu membangunkan manusia-manusia dimuka bumi dengan cara yang sangat halus,
mengajak untuk membuka mata lalu membasuh wajah dengan air wudhu lantas
memanjatkan doa untuk perjuangan hidupnya. Syahdu, benar-benar syahdu.
Berkumandang, mengangkasa saling bersahutan, andai adzan dapat aku dengar
ketika aku berdiri tegak diatas ketinggian sambil melihat matahari terbit,
pasti akan lebih indah pula. Aku pun terbangun dan langsung diam beberapa saat
sebelum akhirnya pergi untuk berwudhu. Pagi itu, ada harapan besar pada
proposal yang telah kubuat, akan ditandatanganinya oleh dosen pembimbing.
Semangat, pagi itu aku terlalu
bersemangat meski ada yang masih mengganjal karena berharap sebuah pesan api
tiada juga datang. Singkat cerita kutemui beliau diruangannya, dengan malu-malu
aku menghampirinya dan mengutarakn niatku. Lalu beliau bertanya mengenai dosis
asam askorbat yang kupakai, setelah kujelaskan panjang lebar, beliau mengambil
pulpenku dan menulis sesuatu pada kertas lantas menjelaskannya padaku, sempat
ada ‘perlawanan’ dariku, seperti “tapi kan pak, komoditasnya beda, ininya
itunya bla bla bla”, beliau terus menjelaskan dan kesimpulannya, “kamu tidak
harus ribet-ribet menghitung seperti itu, itu terlalu rumit, coba nih pake ini
saja, kamu perbaiki lagi tambahkan perhitungannya”, lalu aku tersenyum, “baik
pak”. Ada hal yang berbeda, aku terkesan sudah tidak canggung lagi seperti
sebelumnya, bahkan beliaupun tersenyum ketika aku hendak keluar ruangan. Bagi
mereka-mereka mungkin yang kuceritakan adalah hal sepele, “halah disenyumin
dosen doang”, tapi Tuhanlah yang tahu hari-hari sebelum datangnya hari itu,
bagaimana aku hanya diberikan dasar yang sangat dasar untuk menghitung, entah
pikiranku yang terlalu rumit atau akan yang terlalu bodoh untuk memudahkan
suatu hal. Nyatanya kembali pada diriku lagi. Aku pulang dengan perasaan lega
sekaligus ada kesal juga karena harus mengganti kembali proposal, tapi
sepanjang jalan pulang sambil menunggu sebuah kabar, aku memikirkan hal
mengenai kata ‘seandainya’. Mengapa? Seandainya beliau memberikanku kemudahan
langsung tanpa mengharuskan aku menghitung, dimana beliau akan memberikan rumus
yang pasti dengan perhitungan-perhitungan simpel yang telah beliau utarakan,
mungkin aku akan teta stagnan pada sebuah keterdiaman. Tidak ada tambahan
wawasan, dan tidak akan ada bedanya dengan seonggok daging yang berjejer
dipasar menunggu untuk dibeli dan digerakkan. Seandainya beliau memberikan
kemudahan dari awal, aku tidak akan banyak tahu tentang bawang. Akhirnya,
kembali lagi bahwa hidup tak pernah memberikan rasa percuma, didalamnya
terdapat banyak pelajaran yang dapat kita ambil untuk bekal dalam mengualitaskan
diri menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Bogor, 30 Maret 2015 pukul 21.38
Komentar
Posting Komentar