PUCUK DIANTARA SALAK I, SADLE, SALAK II DAN HALIMUN
Dalam
asa yang membungbung jauh menerawang angkasa
Diantara
hingar bingar kehidupan kota
Mencari
jejak sang legenda-legenda
Menguak
keagungan sang pencipta
Mahasiswa
pecinta alam memang manusia biasa
Tak
ada hal yang istimewa
Tapi
mereka mempunyai kebebasan
Kebebasan
yang menjadikan mereka liar
Liar
untuk mencari ilmu di alam bebas
Liar
dalam menantang hidup
Liar
dalam pengabdian pada alam
Pencinta
alam ,
Adalah
aku dan semua sodaraku.
Pecinta
alam adalah kita.
Lawalata
Selalu
jaya!! (
via mardiana )
Hingar
bingar kehidupan kota sebentar lagi akan kami tinggalkan. Besok pagi kami akan
masuk kedalam kehidupan yang dimensinya tidak dapat diprediksi, ya, alam bebas.
Bicara soal alam bebas, bagi sebagian orang mungkin merupakan sesuatu yang
sangat menakutkan, namun, bagi kami ( calon mahasiswa pecinta alam ) alam bebas
merupakan sarana untuk belajar. Ya, belajar apapun. Masa karantina telah kami
lewati dengan sayatan-sayatan indah yang tergores diotak. Entah itu rasa
senang, sedih, galau, dan semua perasaan yang menyatukan kami sebagai anggota
MPCA Lawalata. Besok pagi, aku dan kesebelas sodaraku akan memulai Studi
Lapangan Kecil sebagai syarat untuk menjadi anggota Muda Lawalata- IPB.
Pagi
itu, tanggal 28 januari 2012 sekitar pukul 08.00 kami berangkat menuju curug
nangka dari gedung PKM. Sempat ada keraguan untuk masuk mobil, namun, keraguan
itu cepat hilang dengan sendirinya. Tetapi jujur saja, kami berangkat tanpa
cebeg. Ya, sosok cebeg tidak dapat ikut SLK karena alasan medis. Pasukan kami
kurang satu personel. Tapi tak apalah, toh itu untuk kebaikan cebeg juga.
Ditengah perjalanan, kami tidak banyak bicara, kami hanya diam dan tidur. Ya,
tidur. Sesuatu yang sangat mahal ketika karantina, rasanya untuk memejamkan
mata saja susah karena kami masih harus bergelut dengan tugas-tugas yang
diberikan senior. Kami sampai di sebuah kampung menuju curug nangka sekitar
pukul 09.45. Istirahat sebentar, lalu melanjutkan perjalanan menuju salak II .
Kami tidak melakuan orientasi medan terlebih dahulu, karena terlalu lama* (
*kata senior ). Perjalanan pun kami mulai dengan ucapan basmalah. Kami
melangkahkan kaki, menyusuri jalanan berbatu. Tiba di dua jalan yang berbeda,
kami bingung , namun, kata senior jalan saja . Ya, kami kembali berjalan.
Selama perjalanan kami terfokus pada salak II, pasalnya kami belum pernah pergi
kesana. Ya, salak II. Ditengah perjalanan kami mengambil beberapa sayuran yang
akan kami makan ( jujur saja, kami kekurangan makanan yang berserat- jadi senior
menyarankan kami untuk mengambil sayuran seperti pakis yang kami temui
disamping kanan-kiri kami berjalan ). Lalu, kami menyebrang sungai kecil dan
juga mengambil air untuk persediaan. Hari sudah mulai sore, namun, kami belum
sampai juga di puncak salak II. Sampai matahari menenggelamkan dirinya, kami
belum juga sampai di puncak salak II. Udara dingin memaksa kami menarik kedua
tangan ke dada, namun, tetap saja angin yang berhembus terlalu kencang membuat
kami merasa kedinginan. Sayangnya lagi, sodara kami , tole, malah pingsan.
Rasanya kacau. Apalagi ketika cariel tole harus dibawa oleh salah satu dari
kami, ( ya memang hanya anak laki-laki saya yang ‘berhak’ membawa cariel ).
Jalan menuju salak II, cukup sulit apalagi kita berjalan di malam hari sehingga
membutuhkan penglihatan yang sangat tajam untuk meminimalisasi kejadian yang
tidak diinginkan. Disitu, kami memahami akan pentingnya keberadaan senter. Ya,
sebagai penerang. Jadi ingat apa yang dikatakan bang gonjes, ‘jika kita
bermain-main dengan korek dan senter, maka kita juga bermain-main dengan nyawa
kita sendiri’. Ya, keberadaan senter sangat menolong kami. Intinya, PJM itu
bukan hanya formalitas , tetapi juga kebutuhan yang menunjang kita dalam
melakukan kegiatan ini. Capek, itu yang kami rasakan. Tapi kami tidak boleh
menyerah begitu saja pada diri sendiri, apalagi menyerah pada alam, itu bukan
mental seorang pecinta alam. Kami terus pacu kecepatan agar secepat mungkin
bisa sampai di puncak salak II. Semakin kita sering bergerak, rasa dingin yang
kita rasakan juga akan hilang dengan sendirinya. Tidak tepat pukul 22.00 kami
sampai di puncak. Udara dingin menyeruak memasuki rongga hidung kami. Dingin.
Dingin sekali. Kami berada diketinggian 2180 mdpl. Kami membuat bivoac, sebelumnya kami memasak terlebih
dahulu. Lalu tidur.
Hari
kedua, tanggal 29 januari 2012. Setela sarapan, kami melakukan pemanasan.
Pemanasan sangat diperlukan, agar tidak terjadi cedera ketika kita melakukan
aktifitas, apalagi aktifitas yang akan kami lakukan hari ini, yaitu, menyebrang
sadle . Sadle adalah dataran yang menghubungkan dua puncakan. Dan jalur sadle
puncak salak II-salak I itu baru dirintis pada tahun 2010 ( itu aku tahu dari
kertas yang aku temui disepanjang perjalanan di sadle ) . Satu kata yang dapat
kusampaikan ketika pertama kali melihat jalan ke bawah adalah , “outstanding” .
Sebenarnya takut, tapi apa hendak dikata? Ini jalan yang akan mengantarkan kita
kembali pulang juga. Medannya sangat sulit. Jalan menurun, dan licin mewarnai
langkah kami melewati sadle ini. Sial, ceplong terjatuh cukup jauh. Kepalanya
membentur kayu dan kacamatanya pecah, alhasil ia ketakutan dan tidak mau
melanjutkan perjalanan. Untung saja, uye berhasil mengajak ceplong untuk turun,
ya tentunya dibantu. Ditambah cariel topbir juga masuk jurang. Tampaknya langit
tidak akan bersahabat lagi. Hujan mulai turun sedangkan kami masih dalam
perjalanan, dan itu pun kami tidak tahu seberapa jauh lagi kami akan
melangkahkan kaki hingga sampai di salak I. Kami mencoba berteriak, tapi malah
ditegur oleh kakak senior padahal sebenarnya kami hanya ingin menghangatkan
badan. Kedinginan melanda kami, jalan yang licin menghadang kami, hujan
seolah-olah melarang kami untuk sampai lebih cepat ke salak I. Setiap kali
berhenti kami harus berdekatan dan membuka ponco. Kami menunggu barisan rapat
terlebih dahulu, baru mulai lagi berjalan. Setelah rapat, aku, amput dan oge
kembali melipat ponco dan melanjutkan perjalanan. Sial, usaha kami untuk segera
sampai di salak I tidak diizinkan oleh keadaan. Kami mengambil keputusan untuk
camp di sadle. Dan itu resikonya sangat besar, tapi apa hendak dikata. Bila
melanjutkan perjalanan itu tidak akan bisa apalagi banyak yang collapse
termasuk aku. Magg ku kambuh dan aku merepotkan sodaraku ( thanks a lot ) .
Kami terpaksa tidur didataran yang lebarnya kurang dari satu meter, kanan dan
kiri kami menganga jurang yang siap memangsa setiap saat. Suasana semakin
mencekam, aku ingat duduk dalam pelukan topbir. Tiba-tiba topbir ingin buang
air kecil, sebenarnya oge sudah melarangnya tetapi topbir sudah tidak kuat
menahan lagi, hasilnya beberapa langkah ia berjalan ia malah terjatuh ke
jurang. Untung saja topbir tidak mengalami cedera yang serius walaupun keesokan
harinya topbir merasa kakinya sakit dan ia harus memakai tongkat. Beratapkan
ponco kami tidur , namun, aku tidak bisa tidur termasuk ketujuh sodaraku. Oya,
kami terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok satu, aku, amput, oge, gumoh, topbir,
bonceng, uye, tole. Sedangkan kelompok dua, cenges, pakcoy, pongah dan ceplong.
Subhanallah, sensasi diam diantara dua jurang yang tidak akan kulupakan.
Sungguh, medannya sangat sulit. Suhu encapai 12 derajat, dan salah satu senior
berkata bahwa puncaknya akan terjadi pada pukul 02.00. Masih dalam pelukan
topbir, aku merasakan kedinginan. Kalau tidak salah oge membantu mengganti kaus
kaki, dan kak embang menghidupkan parafin untuk membantuku menghangatkan badan.
Hari
ketiga. Sungguh mengagetkan, ternyata tanah yang berada disamping kami longsor
tadi malam. Sekitar pukul 12.00, kami dievakuasi terlebih dahulu ke bawah,
dimana kami dipersilakan untuk memasak untuk mempersiapkan perjalanan yang akan
kami mulai pukul 14.00 kata kak syukra. Dingin, itu yang kami rasakan. Baju
yang kami pakai basah, bahkan yang lebih miris beberapa barang kami masuk
jurang sehingga memaksa uye untuk mengambilnya. Semuanya menarik tangan kedada,
saling mendekatkan badan. Aku menyeduh kopi lalu membagikannya kepada yang
lain. Sungguh nikmat. Hujan kembali turun. Tetapi kami harus segera melanjutkan
perjalanan. Awalnya bonceng yang naik pertama, diikuti oleh gumoh, lalu aku.
Semua perempuan sudah ada diatas, sekarang giliran cariel yang harus kami
angkut ke atas. Dengan bantuan webbing, kami menarik cariel yang berat karena
basah. Lalu salah satu senior yaitu kak benni datang dan menyuruh kami
cepat-cepat naik keatas dan meninggalkan cariel. Akhirnya kami ( MPCA wanita ) melanjutkan
perjalanan menuju puncak salak I. Berjalan tanpa cariel ternyata merupakan
suatu kenikmatan, pasalnya kami bisa berjalan lebih cepat tanpa beban. Sekitar
15 menit kami sudah sampai di puncak salak I. Kami disuruh memasak. Sedikitnya
kami merasa senang karena bisa istirahat untuk sejenak. Namun, tidak begitu
bagi laki-laki, pasalnya ia harus kembali besok pagi untuk mengambil cariel
yang tersisa dibawah. Malam harinya, kami merasakan udara yang dingin lagi.
Bahkan amput ‘collapse’ lagi. Lalu senior kembali memberi kami makanan. Dan
saat itu pula aku juga ‘collapse’. Dingin, itu yang sulit aku tahan. Aku sadar
hanya pongah dan topbir yang saat itu masih sehat. Sehingga mereka pula yang
harus kerja keras untuk menjaga yang ‘collapse’.
Hari
keempat, 31 januari 2012. Pagi harinya, laki-laki mengambil cariel yang masih
tersisa dibawah. Sedangkan kami ( kaum wanita ) memasak. Senior memberitahukan
bahwa kita akan melanjutkan perjalanan pada pukul 10.00. Namun, kami tidak
berangkat pukul 10.00 itu karena keterlambatan kami. Apalagi ketika menunggu
kaum laki-laki, ditambah packing yang menurut kami masih memerlukan waktu yang
cukup lama tapi senior memberikan kami waktu yang tak lama sehingga jujur saja
kami packing dengan cepat namuntidak tepat. Pukul 12.00 kami harus segera turun.
Ya, intinya kami harus berjalan cepat untuk menghindari camp dijalan. Aku ingat
kak faisal berkata, “kalian goblok kalau gak bisa nyampe !”. Dalam waktu 2 jam
kami harus segera sampai di HM 25. Kami akui kami ‘lelet’ sehingga untuk
mencapai HM 25 saja kami membutuhkan waktu yang lebih dari 2 jam. Sekitar pukul
15.30 , kami istirahat dibawah rintik hujan dan membayar sebagian hutang kami.
Pembayaran hutang dilakukan setelah kami makan terlebih dahulu. Kami push up
diatas lumpur yang mengotori baju kami yang basah. Kami diberi waktu 45 menit
untuk memasak. Setelah selesai kami kembali melanjutkan perjalanan. Kami
diharuskan sampai ke HM 0 secepat mungkin. Sial lagi, kami tidak bisa secepat
yang diharapkan kakak senior. Banyak hal yang terjadi selama perjalanan menuju
bajuri. Disitu, emosi kami semua meledak, sulit dikontrol. Semua orang bicara
mempertahankan argumennya masing-masing. Ceplong kembali jatuh, ia harus
dituntun untuk melewati jalan yang memang cukup sulit karena malam dan juga
kubangan lumpur yang cukup dalam. Terkadang beberapa kali kita harus berhenti sejenak
untuk mengumpulkan tenaga untuk menarik kaki yang masuk kedalam kubangan
lumpur. Ditambah bonceng yang terpaksa kami tinggal karena ia demam. Sebelum
sampai ke bajuri kami bertemu dengan kak dafi dan kak fadlan. Mereka terus
menyemangati kami dan mengatakan bahwa jalannya sebentar lagi. Alhsil kami
sampai, namun, bonceng dn uye tertinggal. Disitu, topbir, ceplong dan pongah
sakit. Kami kembali merasakan ganasnya alam. Dingin. Beruntung, kakak senior
memberikan kami bubur dan kami pun makan. Aku dan tole mencari air karena kami
kehabisan air. Tidak lama kemudian, pakcoy dan cenges datang. Kami berbaris,
lalu 3 orang diantara kami , yaitu pakcoy, oge dan cenges harus kembali ke HM 8
untuk menjemput bonceng. Tanpa pikir panjang mereka segera kembali ke HM 8.
Mereka harus bergerak cepat karena pukul 24.00 kami akan kembali melajutkan
perjalanan, sedangkan ketika mereka berangkat waktu menunjukan 22.40. Sesekali
aku menengadahkan kepala ke langit. Betapa indah karuni Allah yang telah
diberikan kepadaku, tidak percaya tadi pagi dan kemarin sore kami sudah
melewati gunung yang menurut orang susah untuk didaki. Cukup lama kami menunggu
kaum laki-laki turun, dan akhirnya kami melihat batang hidung mereka. Terlihat
bonceng sangat lemas sekali. Lalu kami memberikan makanan yang tadi diberi oleh
senior kepada mereka. Kami harus segera fit agar perjalanan tidak kembali
terhambat. Kami akan menemui jalanan yang berbatu dan itu sekitar 5 kilometer
dan sisanya jalan aspal. Mendengar itu semangat kami kembali terpacu, orientasi
kami tertuju pada istirahat semakin cepat kami sampai maka kami akan cepat
untuk istirahat. Kami memeulai perjalanan kembali, ternyata benar jalannya memang
tidak sulit, ini hanya jalan berbatu saja kami harus cepat sampai. Tak lama
kemudian kami sampai juga di lokasi seperti lapangan dan cukup luas, dan
ternyata dari situ terbentang jalan aspal yang kami harapkan dari tadi. Kami
harus berjalan beberapa menit lagi . Dan akhirnya kami sampai di cidahu. Senior
menyuruh kami segera membuat bivak. Namun, mungkin karena terlalu caek sehingga
kami malah duduk-duduk diantara tumpukan cariel alhasil tamparan keras pun
mendarat dipipi kami. Tamparan yang didaratkan kak beni membangunkan kami dari
kemalasan. Tapi sungguh, saat itu kami merasakan tubuh kami capek . Kami segera
membuat bivak, semuanya bekerja tanpa terkecuali. Siraman air tidak luput
mengenai wajah kami. Kami harus membongkar bivak kembali karena ternyata
didalam bivak ada bekas pohon yang ditebang. Tanpa pikir panjang kami
mengerjakan bivak dan akhirnya selesai. Ada yang memasak diluar, dan aku
memilih untuk tidur.
Hari
kelima, 1 februari 2012. Pagi hari kami sudah bangun, kami segera membereskan
barang-barang yang semalam belum sempat kami bereskan semua. Kami memasak
sekitar pukul 07.00. Lalu, packing kembali. Sekitar pukul 08.00, kami melihat
ada mobil TNI yang mengangkut sebagian senior. Kami melihat merekapun
memberskan cariel-cariel. Oya, aku lupa. Malam hari sebelum keberangkatan
konsumsi kami bagi 2. Dan pada hari kelima ini kami berhak mengambil sisanya,
sebenarnya waktu kami mengambil konsumsi adalah kemarin namun, lagi-lagi karena
kesalahan kami yang selalu lelet, akhirnya konsumsi pun diambil tidak tepat
pada waktunya. Setelah pemanasan, kami turun kebawah dan disuruh membuka
sepatu. Oya, kutu air. Itu adalah penyakit yang kami takutkan, pasalnya kutu
air dapat menghambat perjalanan kita juga. Setelah semua dibua, senior
memeriksa kaki kami dan ternyata cenges dan pakcoy terjangkit kutu air. Mereka
disuruh membersihkan terlebih dahulu dengan alkohol. Sisanya juga mengobati
luka-lukanya masing. Tangan kami peuh dengan luka-luka akibat duri yang kami
temui selama perjalanan. Setelah selesai mengobati luka, kami menaikkan cariel
ke dalam mobil lalu diikuti oleh kami. Dan kami pun berangkat menuju kampung
cirasamala sekitar pukul 14.00 . Tidak banyak cerita ketika dimobil, karena aku
pun tertidur lelap. Yang kurasa perjalanannya cukup lama. Akhirnya kami sampai
juga disebuah kampung, tetapi bukan kampung cirasamala karena untuk sampai di
cirasamala kami masih harus berjalan beberapa menit lagi. Setelah menurunkan cariel
kami orientasi medan terlebih dahulu bersama kak embang. Setelah itu kami
disuruh berjalan terlebih dahulu dan mencari tempat untuk camp. Kami berjalan
tidak terlalu jauh, namun jalannya menanjak sehingga kami harus mengencangkan
cariel . Sepanjang perjalanan aku melihat begitu asrinya desa ini, berada
dikaki gunung halimun, sawah-sawah yang terbentang bak permadani, gemercik air
yang mengalir di selokan kecil samping kanan dan kiriku. Rumah-rumah yang tidak
begitu mewah namun aku dapat merasakan kehangatan didalamnya. Sungguh,
pemandangan yang jarang kutemui. Ini benar-benar desa. Setiap kali kami bertemu
dengan penduduk setempat kami merasa diterima oleh mereka, mereka tidak absen
menyapa dengan ramahnya, bahkan beberapa ada yang memberikan kami makanan.
Awalnya kami akan camp disebuah kebun yang dekat dengan rumah warga namun,
senior menyuruh kami untuk mencari tempat yang lebih layak. Akhirnya kami
melanjutkan kembali perjalanan, kembali melewati sawah dan selokan-selokan
kecil. Aku lama kemudian kami menemukan tempat yang cocok untuk tempat kami
istirahat. Kami dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok satu, cenges,topbir,
ceplong,amput,uye,gumoh. Sedangkan kelompok dua, aku ( pucuk), pongah, oge,
pakcoy, bonceng dan tole. Sesampainya dilokasi camp, kami memasak terlebih
dahulu. Lalu kami istirahat. Sebenarnya hari itu adalah jatah kami untuk
istirahat full, dalam artian tidak ada perjalanan, namun, lagi-lagi karena kami
‘lelet’ kami harus mengambil konsekuensinya. Setelah tu kami dikumpulkan oleh
kak embang untuk melakukan orientasi medan. Kami membuka peta dan mencocokannya
dengan lokasi dimana kami berada saat itu. Dengan menggunakna kompas bidik
pakcoy dan bonceng mencoba membdidik gunung kendeng. Ditempat camp tersebut
kami berkesempatan untuk mengeringkan baju, sarung bag, dan semua yang basah
karena hujan. Aku bersama pongah membuat
tempat jemuran sederhana menggunakan tali mapala setelah selesai menjemur aku
memberskan cariel dan masuk ke dalam bivak. Ternyata didalam bivak ada bonceng,
ia kembali demam dan menurutku demamnya dikarea ada pembengkakan pada kakinya. Satu
hal yang lucu, ternyata uye bisa mengesol sepatu. Dengan penerangan seadaya
dari senter uye berahsil mengembalikan bentuk sepatu pongah yang sebelumnya
tidak karuan. Hari sudah mulai malam dan kami pun beristirahat dibivak.
Beralaskan matras dan berdindingkan ponco. Tidur.
Hari
keenam, tanggal 02 februari 2012. Kami akan memulai lagi perjalanan. Sekarang
tujuannya adalah puncak halimun diketinggian 1800 mdpl. Menurut kak embang,
memang jarang sekali orang yang mendaki halimun, namun, jalur ini merupakan
jalur yang dipakai juga oleh salah satu mapala yaitu TRISAKTI dalam proses
pembinaan juga. Sebelum berangkat, kami harus membayar hutang terlebih dahulu
disamping tenda senior. Setelah membayar hutang kami segera melangkahkan kaki
menuju puncak halimun. Sekitar pukul 10.00 kami berangkat. Suasana bahagia
mewarnai perjalanan kami, kami menyanyi bersama dipimpin oleh pakcoy. Lalu kami
beristirahat diketinggian 1600 mdpl ( kalau tidak salah ) untuk mengambil air.
Lalu kami memasak. Sial lagi, ceplong menyenggol sarang tawon. Ia disengat
tawon, lalu menyusul pongah, dan aku. Lalu amput, oge, gumoh. Tawon itu mampu
membuat kami kalang kabut. Dengan menahan rasa sakit, aku berjalan menyusuri
tanjakan menuju puncak halimun. Karena melihat kondisi amput, gumoh, ceplong
yang tidak akan baik jika melanjutkan saat itu kami bersitirahat sejenak. Kami
mencoba menghubungi senior tai tidak dijawab.baru setelah beberapa kali mencoba
akhirnya dijawab dan kami disuruh kembali melanjutkan perjalanan. Hujan pun
turun, kami membuka ponco. Akhirnya sekitar
pukul 15.50 kami sampai di puncak halimun. Lega rasanya. Kami segera
membuat bivak. Lalu senior datang, yaitu kak linda, kak fadlan, dan kak beni.
Kami disuruh push up. Lalu sebagian mengumpulkan survival kit, golok dan p3k.
Ada kejadian unik, syal ku terlepas dan kak linda melihatnya. Lalu aku ditarik
ke depan disuruh merayap dan berjanji tidak akan mengulangnya lagi. Mantaps kak
linda . ( hehe ) . sekarang kami praktek survival, aku merasakan dingin lagi.
Ditambah baju dan celanaku semuanya kotor. Kami dibagi kelompok, aku bersama
oge. Kami ditunjukan tempat untuk survival. Kami hanya diberi poco, golok, dan
korek api. Sungguh, dingin. Oge menyuruhku untuk mengambil kayu dan dimulai
dari situ aku merasakan sesuatu yang aneh. Namun, keanehan itu tertutupi oleh
rasa dingin yang menyiksa. Jujur saja aku hanya melihat oge membuat bivak tanpa
membantunya. Setelah selesai kami berteduh didalam bivak. Dan ketika kami akan
membuat api ternyata didalam korek tabung tidak ada pemantiknya, terpaksa oge
kembali untuk meminta pemantik dan pemantiknya malah jatuh dan basah. Tidak
tamat, tapi kami harus menjaga agar suhu tubuh tetap stabil. Saat itu aku
kembali merasakan sesuatu yang aneh. Aku ingat ketika menyuruh oge meniupkan
peluit dan gelap. Menurut sodara-sodaraku tadi terjadi sesuatu yang aneh.
Seperti yang kurasa sebelumnya. Tapi sudahlah, aku tidak ingin terlalu banyak
membahas satu masalah itu. Bagaimanapun juga mungkin ini adalah pembelajaran
bagi kita semua. Aku sadar ketika sudah dibivak. Namun, bayang-bayang itu masih
jelas terlihat. Dan aku meminta pertolongan kak embang untuk menutup mata.
Subahanallah, itu yang bisa aku katakan ketika mendengar cerita dari
sodara-sodaraku. Sadar dan tidak sadar saat itu.
Hari
ketujuh, 03 januari 2012. Aku terbangun. Puncak halimun. Kulihat
sodara-sodaraku masih terlelap tidur. Hanya uye dan gumoh yang kulihat sudah
bangun. Kak mila mencoba membangunkan kami. Kami disuruh memasak. Barang-barang
kami semua diluar. Berantakan. Itu kondisinya. Aku memberskan barang-barangku
yang berserakan diluar. Sedikit demi sedikit aku membereskannya. Aku masih
merasa lemas akibat ‘pertarungan’ semalam. ( tidak usah aku ceritakan apa yang
terjadi, dimensi yang berbeda memaksa kita untuk percaya bahwa ‘mereka’ hidup
berdampingan dengan manusia. Jika mereka merasa terganggu mereka pun akan
memberitahu manusia dengan cara mereka). Masakan sudah masak dan kami makan.
Lapar sekali, itu yang kurasa. Dan senior memberikan kami ‘lagi’ makanan. Jadi
ingat yang dikatakan kak faisal, “kalian ( kami ) adalah MPCA yang paling
sering diberi makan oleh senior “. Kami segera turun menuju tempat camp 2 hari
yang lalu. Dan diperjalanan, terjadi peristiwa yang menelisik pikiranku. Amput
kembali kesurupan. Dan ketika kami menghubungi senior tidak ada jawaban.
Singkatnya, aku merasa hal yang berbeda dalam diri amput. Dan aku tidak ingin
berjalan bersama amput. Kami menyusuri jalanan yang tidak terlalu terjal,
justru menurutku ini tidak begitu sulit. Namun, ternyata kami tersesat. Kami
terlalu berjalan ke kanan dan jika kami harus kembali itu tidak mungkin karena
hari sudah mulai sore . Pasalnya kami melewati 2 punggungan. Setelah berembuk
kami istirahat sebentar disebuah gubuk, tadinya kami akan menginap disitu
namun, aku bersikeras tidak mau menginap disitu karena pasti akan ada sesuatu
yang tidak beres pada Amput yang memiliki hubungan denganku. Kami berjalan
memasuki perkampungan, dan ternyata tidak terlalu jauh. Kami kembali ke jalan
batu yang 2 hari yang lalu kami lewati . Karena sudah malam, kami tidak
menginginkan untuk kembali ke tempat camp. Apalagi melihat kondisi amput. Lalu,
salahsatu dari kami berinisiatif untuk meminta pertolongan pada warga setempat
untuk mengobati amput. Denga berbekal keberanian, kami berhenti disebuah
mushola. Kami meminta bantuan untuk mengajikan amput pada warga di desa
tersebut. Aku kembali merasakan hal yang aneh, dan ternyata benar. Amput
kembali kesurupan. Singkatnya, situasi saat itu mencekam. Kami dijamu oleh seorang
bapak yang bernama pak Emang, kami tidur di rumah pak emang. Kami diberi makan
dan diberi selimut. Baik sekali bapak itu. Tanpa pamrih beliau menolong kami,
orang yang baru dikenalnya.
Hari
kedelapan, tanggal 04 februari 2012. Kami diharuskan kembali ke tempat camp
sebelum pukul 10.00. setelah pamitan kepada pak emang, kami segera ke tempat
camp. Tak lama kemudian kami sampai ditempat camp. Kami disuruh istirahat
terlebih dahulu. Aku tidak hafal tepat pukul berapa kami melanjutkan perjalanan
ke desa pamengpeuk. Tapi kami disuruh berjalan terlebih dahulu dan senior
menyusul. Medannya mudah untuk dilalui.sehingga kami dapat berjalan cepat.
Ketika kami dihadapkan pada jalan yang bercabang kami tidak susah karena banyak
penduduk sekitar yang juga ramah memberitahu kami. Namun, sayang aku kembali
melihat sesuatu yang berbeda pada diri amput. Tapi, aku mencoba untuk diam
saja. Jam menunjukan pukul 12.00 dan kami memutuskan untuk melakukan shalat
dhuhur terlebih dahulu. Amput kembali sakit. Ia lemas. Kami menyuruh amput
untuk shalat agar terhindar dari makhluk-makhluk yang membuatnya lemas.
Beberapa meter ia berjalan ia tidak kuat. Lalu, aku , topbir, pakcoy, dan pongah
yang berada di depan menunggu. Cukup lama, dan ketika amput mendekatiku aku
benar-benar merasakan sesuatu yang dahsyat. Melihat kondisi amput kami segera
mencari bantuan, untung saja tidak terlalu jauh dari lokasi ada rumah dan
disitu amput ditolong. Rumah panggung itu menjadi saksi pertarungan dua dunia.
( haha ). Kami dijamu dengan makanan, seperti pisang, air teh dll. Ketika amput
sedang ditangani oge mencoba menghubungi senior, dan senior menyuruh kami untuk
diam saja terlebih dahulu diperkampungan itu. ( peristiwa itu kembali terulang
..... ). Aku sadar ketika hari sudah sore. Kak mila dan kak linda mengajakku
solat ashar. Aku melihat amput sangat lemas sekali tampaknya. Hari kembali
memasuki ranah malam, itu yang tidak aku suka. ( ada alasanya ) , sebisa
mungkin aku menahan ‘hal itu’. Sodaraku mengajakku ke lantai dua di rumah itu,
aku melihat mereka sedang bermain dengan kak linda. Aku hanya mengikuti
permainan itu sebentar lalu makan. Aku tidak ingat tadi sudah makan atau belum.
( aku merasakan hal yang aneh ). Ketika aku sadar,aku melihat sodara-sodaraku
mengelilingiku. Sungguh pemandangan yang kukira jarang ditemui di organisasi
lain. Lalu aku kembali melanjutkan tidurku.
Hari
kesembilan, 05 februari 2012. Sebenarnya kami harus kembali melakukan
perjalanan ke desa pemengpeuk, namun, karena peristiwa yang terjadi pada amput
dan juga aku , pihak senior membatalkan rencana perjalanan itu. Pukul 08.00
kami dikumpulkan oleh kak linda dan kak alam. Semuanya sedikit tegang, kami
push up satu seri. Lalu kak linda memberitahukan bahwa prosesi pelantikan akan
dilaksanakan hari itu di desa pasir erih. Kami semua berpandangan, ada perasaan
kaget dan juga senang, tetapi perasaan kecewa juga kami rasakan. Pasalnya
harapan kami dilantik di pelabuhan ratu tidak akan terjadi. Tapi tak apalah,
yang penting semuanya baik-baik saja. Prosesi pelantikan akan dimulai sekitar
pukul 09.00 dan kami harus segera makan berat. Namun sayang, aku dan amput
tidak sempat makan banyak. Kami harus segera menuju lapangan, tetapi kami tidak
menemukan lapangan yang dimaksud oleh senior. Kami mencoba bertanya pada
enduduk setempat, dan kami diarahkan untuk berjalan terus melewati pematang
sawah . sampai kami dibawah, ternyata lapangan itu tidak kami temukan. Kami
mencoba mengecek ulang, tapi tetap saja kami tidak menemukan lapangan yang
dimaksud. Akhirnya, salah satu senior mencari kami dan mengajak kami ke tempat
yang dimaksud. Tampak ketegangan tergambar diwajah sodara-sodaraku. Kami
kembali ditanya mengenai komitmen kami untuk Lawalata. Setiap orang harus
menguraikan argumennya. Tidak lama dari itu, senior menyuruh kami berjalan ke
arah yang berlawanan. Kami sampai disebuah jalan dimana kami dapat melihat
hamparan sawah. Terlihat beberapa gubuk di bawah sana, dan kami harus segera
sampai di salah satu gubuk tersebut dalam waktu 5 menit kata kak Linda.
Mustahil memang, tapi apa boleh buat kami harus segera sampai ditempat itu.
Setelah ada perdebatan kecil ketika menentukan jalan kami dengan langkah
panjang menuju tempat yang ditunjukan oleh kak Linda tersebut. 15 menit kemudia
kami baru sampai di lokasi. Kami bertemu dengan alumni yang disebut bang gonjes
( M Taufik Wahab ) , disana kami akan dikurangi hutangnya jika kami dapat
melakukan instruksi yang diberikan oleh bang Gonjes dengan benar. Instruksinya
mengenai packing. Kami diharuskan mendemonstrasikan bagaimana packing yang
benar. Yang mendemonstrasikan adalah cenges. Pengepakan atau pacing adalah
memasukan dan menata barang-barang yang sudah terdata dan pasti akan digunakan
selama kegiatan kedalam ransel. Packing yang benar akan memeudahkan pengambilan
barang saat diperlukan, embagi titik berat pada ransel dan menjaga keseimbangan
ransel sehingga tidak terlalu terasa berat bila dibawa. Sebaliknya jika packing
kita tidak benar maka akan berimbas juga pada kecepatan kita berjalan bahkan
dapat menimbulkan cedera. Kami berhasil melakukan instruksinya dengan tepat
sehingga hutang kami akan dikurangi. Instruksi yang kedua yaitu kami diharuskan
membuat camp. Tanpa pikir panjang kami segera membuat camp ditempat yang tidak
jauh dari tempat dimana kami dikumpulkan. Camp sendiri dibuat menggunakan
flying sit, sehingga sangat mudah dan ponco dijadikan dindingnya. Setelah
selesai kami sejenak beristirahat. Tiba-tiba senior memanggil kami. Saat itu ada
kak ayu, kak alit, dan kak habib. Kami berbaris dan ada pergantian ketua.
Pongah berkesempatan untuk memimpin kami melewati masa pembinaan ini. Kami
diharuskan segera sampai ke sungai yang ada dibawah. Kami saling bertatapan,
bagaimana mungkin? Sedangkan camp masih berdiri dengan kokohnya. Pongah segera
menyemangati kami. “ayooooo”. Kami semua bekerja membongkar camp. Setelah
selesai membongkar kami segera menuju tempat dimana akan terjadi proses
‘penggembelengan mental ‘. Akhirnya kami sampai. Aku melihat aliran sungai yang
tidak terlalu besar. Kami harus merayap dialiran air tersebut. Aku merasa
sesak, namun, aku mencoba menahannya karena tidak ingin membuat sodaraku
kembali terbebani. Lalu cariel pun harus basah, alhasil cariel menjadi sangat
berat. Kami kembali merayap, kami harus menahan kepala agar tidak masuk air
namun, cariel yang ada dipunggung kami terlalu berat sehingga beberapa kali aku
harus meminum air aliran tersebut. Kami terus merayap, aku merasa cipratan-ciparatan
yang dilakukan oleh senior tepat diwajahku. Sampai pada belokan, salah seorang
senior menarikku dan menyuruhku untuk naik. Namun, aku menjawab aku masih kuat
untuk melanjutkannya. Hantaman keras mendarat dipunggungku, aku tersungkur.
Tapi disinilah aku merasakan indahnya menjadi mahasiswa pecinta alam. ( hahaha
). Kak linda menarikku keatas . aku disuruh menyimpan cariel disitu dan
berjalan ke atas mengikuti kak Linda. Ternyata Amput kambuh lagi dan
penyebabnya adalah makhluk yang sama dengan yang sebelumnya. Aku melihat Amput
meronta-ronta. Lucunya, saat itu aku sadar tapi berulang-ulang kak Linda
menamparku ( mantap ),namun, tubuhku lemas. Aku disemangati oleh kak Linda
untuk pergi ke atas. Ketika aku terjatuh kak Linda berteriak, “Pucuk, mau apa
kau kesini?” aku menjawab, “Mau menjadi anggota Lawalata, Kak.”. “Kalau begitu
kau harus kuat. Anak Lawalata tidak ada yang lemah, semuanya kuat!” kata Linda.
Itulah kata-kata yang menjadi motivasiku untuk selalu kuat. Lalu aku kembali
merasakan keanehan namun saat itu aku hanya merasa lemas aku masih bisa
mengendalikan diri tanpa membuat orang lain kesusahan. Aku dipapah oleh kak Ode
menuju tempat prosesi pelantikan, lagi-lagi adahal saat itu aku sadar tapi kak
Ode menamparku dan tidak hanya satu kali, kenyang sekali aku dengan tamparannya.
( hahaha ). Akhirnya aku sampai di tempat prosesi pelantikan, aku melihat Tole
memegang perut. Pasti dia sakit. Ya, ternyata asma dia kambuh lagi. Apalagi
saat itu dia sedang diare. Aku dan Tole menunggu sodara yang lain. Dan tepat
pukul 15.30, di pasir erih prosesi pelantikan anggota muda Lawalata pun
dimulai. Kak Ayu membacakan susunan acara. Semua senior berbaris. Ada dua
bendera yang berdiri di depan kami, yaitu bendera Lawalata dan bendera merah
putih. Setelah menyanyikan Indonesia Raya dan Hymne IPB, berdasarkan surat
keputusan, aku bersama 11 sodaraku dilantik menjadi anggota muda Lawalata-IPB.
Akhirnya kami medapatkan syal kuning dan lencana. Senang, itu yang kurasakan.
Akhirnya, perjuanganku dan sodara-sodaraku baru sedikit terbayar karena kami
tidak mau hanya sekadar menjadi anggota muda tetapi akan menjadi anggota biasa
Lawalata-IPB. Semuanya menjadi satu dalam perasaan senang. Setelah berfoto kami
segera kembali ke desa terdekat. Aku merasakan suasana yang begitu akrab.
Lawalata. Kami harus segera pulang karena truk sudah menunggu dibawah. Perlu
berjalan beberapa kilo lagi agar sampai dijalan aspal. Akhirnya kami melihat
truk yang akan membawa kami pulang. Setelah semuanya siap, kami kembali pulang
ke kampus . Lawalata, menjadikan semuanya terasa bermakna. Semua rangkaian
kegiatan SLK ini, akan terekam dengan apiknya didalam ingatanku, akan aku jaga
hingga suatu saat aku dapat menceritakannya kepada teman-temanku, kegiatan yang
menjadikan kami kuat, kegiatan yang menjadikan kami tidak bermental lemah,
semuanya akan menjadi memori indah . itulah ceritaku, bersama sodara-sodaraku
dibawah naungan Lawalata ! selamat tinggal, Halimun. Lawalata. Jaya .
Komentar
Posting Komentar