Barangkali Engkau Lupa Jalan Pulang .....


Suatu ketika dalam malam yang lirih menyambut pagi yang belum punya arti, aku menemukan seorang laki-laki tua duduk dalam diamnya dekat tong sampah. Kuperhatikan samar wajahnya sempat kulihat ketika pagi menuju kantor tadi. Aku mencoba mengingat, tetapi nihil yang kudapat. Masih tinggi rasa kesalku pada salahsatu kawan akibat kejadian dikantor, aku memang belum bisa berkonsentrasi secara penuh ketika perjalanan pulang. Ah, muak sekali mempunyai kawan yang punya pemikiran dangkal, memperhitungkan segala kebaikan, lalu dianggaplah dirinya yang paling mulia dari kebanyakan. Kubilang padanya, kalau berbuat baik tak usah diumbar-umbar, hanya beberapa kata itu mampu membuat ia menumpahkan segelas jus alpukat tepat ke bajuku, kawan macam apa?

Aku memang tidak begitu dekat dengannya, kami sering berselisih paham. Mengapa? Rasanya aku terlalu kesal dengan sikapnya, ah, maafkan aku , aku sudah mencoba sabar untuk menghadapinya. Kalau saja pak Bos tak menyuruhku untuk bersamanya dalam proyek ini, aku masih berpikir panjang sepertinya untuk seruangan dengan dia. Persis sudah, bajuku basah dan akan dikerumuni semut jika tak cepat diganti. Sialnya, aku hanya mempunyai waktu 5 menit karena meeting bersama pak Bos harus segera dimulai. Ah, seperti sudah direncanakan olehnya. Terpaksalah aku harus menerima apa yang akan dikatakan pak Bos nanti, dan aku yakin kawanku itu akan mendapatkan posisi penting dibanding aku hanya karena keterlambatanku ketika meeting.

Benar saja, aku langsung disuruh kembali keruangan dan tidak diperkanankan mengikuti meeting pada hari itu. Kawanku? Ia tersenyum ganas penuh kepuasaan melihatku keluar dari ruangan meeting. Ah, sial kan.

Aku masih berjalan menyurusi jalan tembok menuju stasiun kereta. Benar, pikiranku melayang kemana-mana, harusnya aku yang mendapat posisi itu. Posisi yang sudah aku idamkan sejak pertama masuk kantor ini. Aku terus berjalan ditemani malam. Dingin.

Ada yang aneh, aku melihat laki-laki tua tadi mengikutiku dari belakang. Aku mencoba menghentikan langkahku, lalu duduk beberapa menit disebuah kursi taman, lalu aku melihat kebelakang dan ia pun melakukan hal yang sama. Aku mulai berdiri, ia pun ikut berdiri. Aku melakukan gerakan simpanse berjalan, ia pun mengikutiku juga. Ini jauh lebih menyeramkan daripada aku melihat seorang penjambret seperti tadi pagi. Terlintas dipikiranku, “Apa dia orang waras?”. Aku kembali berjalan pelan, aku dapat mendengar langkahnya juga. Tiba-tiba aku membalikkan badan dan berkata, “Cilukkk baaaaa”. Ia sontak terkejut dan bertingkah seperti anak kecil. Samar-samar aku mengamati wajahnya tetapi belum dapat mengenalnya, sepertinya memang otakku sedang tidak ada dalam peforma terbaiknya. Bahkan peforma yang cuku baik saja tidak. Ah!

Aku mendekatinya, lalu berkata “Ada yang bisa saya bantu?”. Orang tersebut hanya menunduk, dan aku merasa bersalah dengan tingkah konyolku tadi membuatnya kaget. Ia terlihat memang tidak waras, wajah laki-laki tua yang membawa botol minum anak kecil dan sebuah tas kantor. Aku melihat uban-uban yang banyak menghiasi rambutnya. Wajahnya sudah mengeriput, apalagi tepat didahinya. Aku diam, dia pun diam. Mati gaya aku.

“Saya Wulan, kakek siapa?”tanyaku pelan. Kakek tersebut hanya tersenyum dan memainkan mulut. Sepertinya memang dia adalah (maaf kasar), orang gila. “Kakek tersesat?Dimana rumahnya?”. Dia kembali tersenyum padaku. Hal yang membuatku kaget ketika ia memegang tanganku kencang, aku sontak akan berlari tapi dia mencegahnya. Ia ternyata mengajakku duduk di kursi taman. Aku kembali bertanya, “Kakek tinggal dimana?Ayo aku antar pulang.”kataku. Aku kembali mengamati wajahnya secara hati-hati, sepertinya memang aku pernah melihat kakek ini sebelum perjumpaan kami pagi tadi. Tiba-tiba kakek itu menyerahkan kertas padaku, didalamnya ada tulisan.

Barangkali kalian akan merasa terganggu oleh tingkahnya, tetapi ketahuilah ia tidak sepenuhnya gila. Pada suatu waktu dia dapat menjadi orang normal seperti kita, hanya saja ketika waktu tidak warasnya kembali, aku hanya bisa menangis melihatnya, ia akan seperti anak kecil yang menyedihkan. Aku sudah berusaha menjaganya, tetapi ia tetap saja pergi jalan-jalan. Maka aku menitipkan ini padanya untuk diberikan pada orang yang membuat ia nyaman. Ketahuilah, ketika dia menjadi dirinya, dia adalah seorang yang baik. Sebab ia yang menolongku ketika aku mengalami kecelakaan dan hampir meninggal, bahkan ia mendonorkan ginjalnya untukku. Siapapun, tolong nyamankan dia. Dia tidak akan mengikutimu sampai rumah sebab ia tahu tempat ternyaman baginya. Setelah ia memberikan surat ini padamu, lalu engkau membacanya, tolong kembalikan lagi padanya ya.
Salam.

Aku terdiam. Ada juga orang semacam ini. “Hai, kakek?”. Ia berdehem, lalu berkata “Kamu mengapa ada disini?”, aku terkaget dalam hati berkata, “Sepertinya ia sedang menjadi dirinya sendiri, bukan orang gila”. “Aku baru pulang kerja, kakek ikut ke rumahku saja, yuk.”. Ia menggelengkan kepala. Ia mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang, matanya berbinar seperti ingin menangis. “Kamu mau kemana?”tanyanya, “Aku mau pulang kek, aku habis bekerja.”. Tiba-tiba kakek itu memberikan secarik kertas padaku, “Ini alamatmu, barangkali engkau lupa jalan pulang. Lihat, ini bukan jalan menuju rumahmu, Nak.”. Aku memeriksa sekitar, Oh Tuhan benar. Mengapa aku bisa salah jalan? Namun, hal yang membuatku terkaget adalah kakek tersebut yang bisa tahu rumahku. “Darimana kakek tahu rumahku?”, ia menunduk.

Apakah kamu mengingat orang gila yang sering berada di samping got dekat rumahmu? Teman-temanmu meneriaki aku sebagai orang gila, dan kamu satu-satunya yang diam, lalu ketika temanmu melemparkan sampah kepadaku, engkau yang melawan mereka, mengusir mereka dan menjauh dariku. Engkau tidak mengolok-olokku. Bahkan setiap hari engkau memberiku makan. Sudah lama, aku tak melihat engkau lagi, Nak. Aku merasa rindu dengan kebaikanmu, aku mencari engkau, bukan untuk meminta nasi, tetapi ingin melihat wajahmu saja yang memang mirip dengan cucuku. Beberapa minggu yang lalu aku menemukanmu pertama kali, kuikuti engkau sampai ke rumah, ketika engkau hendak bekerja aku juga mengikutimu, mungkin engkau tidak sadar. Tapi aku ingin memastikan tidak ada yang mengganggumu, seperti dulu ketika engkau mengusir teman-temanmu karena mereka mengolok-olokku. Aku sebenarnya tidak gila, yang dibilang sang penolongku itu adalah salah, aku melakukan hal tersebut karena aku ingin bertemu dengan cucuku. Tadi pagi aku melihatmu lagi, dan aku menunggu sampai engkau pulang bekerja dan aku melihat raut wajahmu tidak seperti biasanya ketika keluar kantor,  meski kamu bukan cucuku, tetapi rasanya senang bisa melihatmu, kamu anak yang baik.

Terharu. Aku memegang tangan kakek itu dengan erat. “Kakek yang dulu diam di samping got dekat rumahku? Itu sudah lama sekali ketika aku masih SMA, dan kakek masih mengingatku?” kataku. “Kebaikkan adalah hal yang sangat mulia, seseorang bisa pura-pura melupakan kebaikkan seseorang lainnya, tetapi ia tidak akan benar-benar bisa melupakannya. Kebaikan yang ia terima telah menjadi catatan dalam dirinya. Begitupun kebaikan yang kita berikan, akan menjadi tabungan untuk kebaikan kita selanjutnya.” Jawabnya. “Ya Tuhan, kakek. Terimakasih sudah memberitahu kalau aku salah jalan ya.”kataku. “Pulanglah,Nak. Sudah malam.”kata kakek tersebut. Sebelum pulang aku memeluknya terlebih dahulu, tidak ada perasaan risih atau jijik, penampilan luar saja ia tampak membuat orang akan merasa tidak ingin didekatinya, tetapi hatinya seperti malaikat. “Kakek mau ikut ke rumahku?”tanyaku. “Oya, ada yang aku lupakan, tidak semua yang dikatakan sang penolongku salah, pernyataan bahwa aku tidak bisa tinggal dirumah itu benar karena aku masih ingin mencari cucukku, mencari kenyamanan juga. Pulanglah , hati-hati.”.


Aku berdiri, mengucap salam pada kakek itu. Dalam perjalanan menuju ke rumah, otakku ternyata sudah melupakan rasa kesal terhadap kawan dikantor, otakku sekarang disibukkan dengan memikirkan satu kata, yakni kebaikkan. Kebaikkan yang tulus akan memunculkan kebaikkan-kebaikan lainnya, dan kebaikkan lainnya akan menciptakan rasa bahagia pada sekitar. Benar tidak? Kalau kalian setuju, kalian akan mengangguk jika kalian tidak setuju mungkin hati kalian terlalu kebal untuk menikmati sebuah proses dalam hidup bersama orang lain. Ciptakan kebaikan untuk siapapun itu, jangan melihat apakah dia pernah menjadi bagian terbaik atau bagian terburuk. Kebaikkan punya ciri khasnya sendiri, tidak perlu berlebih dan tidak perlu untuk dipamerkan, sebab ia biasanya datang dari hati tanpa paksaan. Dan kebaikkan sering kali menjadi alasan setiap manusia untuk mulai hidup ‘benar’. Berbuat baik kepada siapapun selagi kita dapat melakukannya, sebab disadari atau tidak kebaikan satu akan dikembalikan dengan kebaikkan berlebih lainnya. Jika bukan kita yang menerima kebaikkan lainnya dari kebaikkan yang telah kita lakukan, jangan khawatir sebab anak cucumu akan menerima kebaikkan tersebut. 

Komentar

Postingan Populer