MENJADI MATAHARI


Suatu pagi di dusun Kletingan. Dusun yang jauh dari peradaban kota. Tidak ada suara bising kendaraan. Tidak ada asap motor ataupun mobil. Yang ada hanya kicauan burung kutilang yang sedang menunggu induknya mencari makan. Sebuah rumah yang beratapkan genting yang tidak utuh. Dengan halaman yang tidak begitu luas. Tidak ada garasi, tidak ada bunga-bunga yang terawat, yang ada hanya rumput-rumput liar yang mengelilingi sebuah ayunan dengan kayu yang mulai rapuh. Seorang anak kecil dengan pakaian lusuhnya sedang membawa ember. Ia akan pergi ke sungai untuk mengambil air. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seekor anak burung yang mengaduh kesakitan karena terjatuh dari sarangnya. Gadis kecil itu menyimpan embernya dekat ayunan dan mengambil anak burung tersebut. Ia usap anak burung yang bulunya belum terlalu banyak itu.
“Wulan? Cepat kau ambil air di sungai.”kata seorang wanita.
Gadis kecil yang bernama Wulan itu langsung menghampiri ibunya. Tangan kecilnya menyodorkan seekor anak burung ke pangkuan ibunya.
“Anak manis. Biar nanti abangmu yang mengembalikan anak burung ini ke sarangnya.”kata bu Atik.
Wulan tersenyum. Ia segera berlari keluar rumah. Diambilnya ember yang tadi ia simpan dan segera ia berlari ke sungai untuk mengambil air. Jarak dari rumahnya ke sungai tidak terlalu jauh. Hanya beberapa meter. Airnya masih jernih sehingga warga di dusun tersbut selalu mengandalkan sungai tersebut sebagai sumber air bersih. Tidak ada sampah yang ada hanya kerumunan ikan-ikan kecil yang sedang mencari makan. Tak lama kemudian ia sudah selesai mengambil air. Dua buah ember terisi penuh dan dibawa oleh Sohib.
“Mas, sini aku yang bawa.”kata Wulan.
“Kau berjalan di depan saja. Emberya berat , kau masih kecil.”jawab Sohib.
Wulan tersenyum pada kakaknya. 5 menit kemudian mereka sudah sampai di depan rumah.
“Pindahin saja ke ember besar, Hib.”kata bu Atik.
“Ya, bu.”kata Sohib setengah berteriak.
Wulan segera menghampiri ibunya.
“Mana anak burungnya bu?”tanya Wulan.
“Tuh,”kata bu Atik menunjuk ke sebuah keranjang kecil dengan pita warna merah tua.
Wulan kembali tersenyum.
“Mas, tolong aku.”kata Wulan.
“Kenapa de?”tanya Sohib.
“Simpan burung itu ke sarangnya.”
“Baiklah de, tapi tunggu dulu, mas mau menyimpan memberi makan dulu kambing.”
“Jangan lama-lama ya mas.”
“Iya, de.”
Sohib pergi ke belakang rumah sedangkan Wulan menunggu diteras rumah. Ia duduk diatas kursi kayu dekat jendela. Gadis kecil itu memperhatikan gerak-gerik anak burung yang ada dipangkuannya.
“Kau lucu. Tapi sayang kau diciptakan sebagai burung. Coba kau diciptakan sebagai manusia pasti kau bisa menjadi temanku. Teman bermain, kita bisa naik gunung bersama, bernyanyi dan kita bisa sekolah bersama.”kata Wulan masih memperhatikan anak burung itu.
“Hmm, kau hanya burung. Hanya seeokor burung. Kau tak punya akal sepertiku. Kau tidak akan memikirkan sekolah. Yang kau pikirkan hanya bagaimana mecari makan agar bisa bertahan hidup. Juga bagaimana menghindar dari para pemburu. “kata Wulan.
Tiba-tiba Sohib ada di depan Wulan.
“Itu burungnya de?”tanya Sohib.
Wulan mengangguk.
“Dimana sarangnya?”
“Tuh,”jawab Wulan sambil menunjuk pohon mangga yang ada di depan rumah.
“Oh, sini.”
Sohib memanjat pohon mangga dan segera meletakkan anak burung itu tepat disarangnya dan tak lama kemudian ia sudah ada dibawah.
“Mas memang hebat.”kata Wulan.
Sohib membalasnya dengan senyuman.
Malam hari. Diluar hujan turun begitu deras. Ditambah petir yang menyambar seolah-olah ingin mencari mangsa. Angin berhasil membuat genting-genting rumah Wulan berterbangan. Juga suara seng yang beradu dengan kayu-kayu penyangga. Didalam rumah suasana yang mencekam kian terasa. Lampu yang berfungsi sebagai penerang hanya ada satu. Dan suasana makin mencekam ketika lampu minyak yang digantung di dekat jendela itu jAtuh sehingga rumah itu gelap.
“Bu,”kata Wulan sambil memeluk ibunya.
Sementara itu Sohib membuka pintu.
“Mau kemana, Mas ?”tanya Wulan.
“Mau membeli lilin ke warung.”jawab Sohib.
“Jangan, Hib. Hujannya sangat lebat.”kata bu Atik.
“Tapi kasihan Wulan, Bu.”kata Sohib.
Wulan mendekati kakaknya dan menutup pintu lalu memegang tangan kakaknya.
“Tak perlu mas lakukan itu. Dengan kita berkumpul disini bersama pun aku sudah senang. Dan sekarang aku tidak takut gelap.”kata Wulan.
Sohib kembali duduk di dekat bu Atik.
Hujan semakin deras. Petir pun menyambar-nyambar.
“Bruk.”
“Bruk.”
“Bruk.”
Lagi-lagi genting-genting itu jatuh. Air hujan masuk ke dalam rumah yang tidak mewah itu dan membasahi kasur tipis yang warnanya sudah tidak dapat terdefinisikan. Sohib membawa baskom ke dapur untuk menampung air hujan, sementara itu bu Atik menggulungkan kasur tipis yang tadi menjadi alas mereka tidur. Mereka bertiga duduk diatas meja dengan selimut yang tak kalah tipis mengerudungi badan mereka. Sunyi. Sepi. Sohib hanya mendengar guyuran air hujan dan desah nafas ibu dan adiknya.
“Bruk.”
                                                            .           .           .
Jauh sebelum matahari menyinari bumi. Keluarga kecil itu sudah bangun dan melaksanakan shalat shubuh. Setelah selesai shalat, Sohib bergegas keluar rumah. Ditatapnya genting-genting yang semalam berjatuhan. Ia mengambilnya satu persatu dan mengumpulkannya diatas sebuh karung. Lalu, ia duduk diantara rumput-rumput liar di depan rumahnya. Ia sandarkan tubuhnya pada tiang ayunan. Ia tarik kedua kakinya lalu menatap langit yang mulai memerah karena matahari sudah mulai bersinar.
“Matahari adalah benda mati. Namun, ia begitu bermanfaat untuk makhluk hidup.”kata Sohib dalam hati.
Ia menundukkan kepalanya.
“Andai saja.....Ah !”katanya kesal.
Tanpa ia sadari Wulan sudah ada disampingnya.
“Kau?”kata Sohib.
“Mengapa mas melamun? Apakah karena genting-genting itu?”tanya Wulan.
Sohib menggelengkan kepala.
“Lalu? Apakah karena aku yang selalu membuat mas susah?”
Sohib menggelengkan kepalanya.
“Lalu apa mas?”
Wulan menangis. Sohib menatap wajah adiknya.
“Bukan, de. Kau tidak akan mengerti apa yang yang mas pikirkan. Umurmu belum cukup untuk menjangkau masalah-masalah yang menantang kita. Pikiranmu belum mampu menelaah makna-makna hakiki kehidupan. Kau berdoa saja semoga mas selalu sehat agar tidak membuat kau dan ibu kelaparan.”kata Sohib lalu menundukkan kepala.
“Mas, aku tahu , aku masih kecil. Tak baik bagi otakku untuk memikirkan masalah-masalah yang begitu kompleks menerpa kita. Tapi aku kuat mas, aku tidak ingin melihat mas bekerja sendiri. Aku pun sama, aku anak ibu dan aku punya kewajiban untuk membahagiakan ibu. Aku tidak ingin melihat ibu menangis. “
“Sudahlah, mas akan pergi ke sawah untuk membantu pak Sarmidi. Ini uang untuk bekal sekolah. Sekolah yang rajin ya, De. Jadilah anak yang sukses. Jangan seperti mas.”
Sohib membawa cangkul yang akan ia gunakana di sawah.
“Mas,”kata Wulan.
Sohib tidak menjawab . Ia yakin kalau ia menjawab ia akan melihat wajah sedih adikknya dan ia pun akan menangis. Dan menangis adalah hal yang selalu Sohib hindari di depan adik ataupun ibunya.
“Mas,”teriak Wulan.
Sohib tetap tidak menjawab Wulan . Ia terus melangkahkan kakinya yang tanpa alas itu. Ia tatap tajam-tajam matahari yang seoah-olah menantangnya.
Wulan berlari.
“Mas, tunggu.”
Sohib menghentikan langkahnya. Namun, ia tidak membalikkan badannya.
“Jangan lihat wajah mas, de.”kata Sohib.
“Ini makanannya mas.”kata Wulan.
“Terimakasih, de. Sekarang kau bisa kembali ke rumah.”
“Mas,”kata Wulan.
“Apa lagi, de?”
“Apa yang mas inginkan dariku?”
Wulan dapat merasakan kakaknya menahan tangis.
“Jawab, mas.”kata Wulan.
Sohib menarik nafas dalam-dalam.
“Apa yang mas inginkan dariku?”
“Jangan melihat wajah mas, de.”kata Sohib.
“Kalau begitu jawab mas!”kata Wulan menangis.
“Mas ingin kau menjadi matahari di keluarga kita. Matahari yang selalu menjadi penerang dihati mas dan juga ibu. Matahari yang tidak pernah lelah memberikan kebaikan bagi orang lain. Matahari yang berasal dari bawah yang bisa di atas karena otakmu, de. Mas ingin , kau menjadi orang yang sukses. Yang bisa membuat mas dan ibu tersenyum. Mas tidak ingin kau menderita seperti aku, yang harus bekerja keras dan meninggalkan bangku sekolah. Mas tidak ingin kau mengulanginya lagi. Mas bekerja untukmu , de. Mas bekerja untuk kesuksesanmu. Jangan sia-sia kan usaha mas.”kata Sohib sambil kembali melangkahkan kakinya.
Wulan diam.
“Baiklah, mas.”kata Wulan dalam hati.
                                                            .           .           .
Wulan sudah siap untuk berangkat sekolah. Setelah mencium tangan bu Atik, Wulan melangkahkan kakinya dan berangkat ke sekolah. Jaraknya tidak kurang 3km. Sepanjang perjalanan Wulan menangis. Ia masih mencerna harapan-harapan kakakknya pada dirinya. Sudah setengah perjalanan. Tiba-tiba Wulan memegang perutnya.
“Aduh,”Wulan merintih.
“Ah,,sakit.”lanjut Wulan.
Ia mempercepat langkahnya. Ia tidak ingin membuat kakaknya kecewa kalau ia tidak sekolah hari ini. Ia terus memagang perutnya. Tak henti-hentinya ia beristigfar.
Tinggal beberapa meter lagi ia akan sampai di sekolah namun, perutnya semakin sakit.
Ia terus melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di gerbang sekolah.
 “Kau terlambat, Wulan.”kata pak Tarkim.
“Iya, pak.”kata Wulan.
Wulan segera berlari menuju kelasnya.
“Maaf, bu. Saya terlambat.”kata Wulan.
Bu Guru menghampiri Wulan.
“Kau sakit, Nak? Wajahmu pucat sekali.”kata bu Guru.
Wulan menggelengkan kepala.
“Ya sudah, kalau begitu silahkan duduk. “kata bu Guru.
Selama itu ia tidak juga berhenti memegang perutnya.
“Anak-anak, sekarang siapa yang akan menceritakan tentang harapan-harapan kalian, atau mungkin cita-cita kalian?”tanya bu Guru.
Wulan mengangkat tangan.
“Aku memang terlahir dari keluarga yang jauh dari standar ‘cukup’. Mas ku harus bekerja banting tulang untuk hidup kami bertiga. Mas ku dan ibu adalah orang yang membuatku tetap mencanangkan harapan-harapanku setinggi langit. Mas ku juga yang membuat harapan-harapanku kian nyata dengan usahaku. Aku tidak ingin sombong. Kata mas ku, aku cukup menjadi matahari. Matahari yang selalu menjadi penerang bagi mas ku dan juga ibu. Matahari yang tak pernah lelah memberikan kebaikan bagi semua orang. Aku hanya ingin menjadi matahari yang selalu membuat mas ku bangga karena usahanya membiayaiku sekolah tidak sia-sia. Terimakasih.”
“Brukkk.”
Wulan terjatuh. Semua orang panik. Bu Guru langsung membawa Wulan ke UKS dibantu teman-temannya.
                                                            .           .           .
Sohib memegang kepalanya. Ia tidak berhenti berdoa agar keselamatan tetap dicurahkan Allah untuk adiknya. Begitupun bu Atik. Dalam balutan baju lusuhnya beliau menangis dan mengucapka istigfar. Dokter pun keluar.
“Maaf, bu. Tapi sepertinya terlambat. Silahkan ke dalam.”kata Dokter.
Sohib menggelengkan kepala. Ia masuk bersama ibunya. Dilihatnya kondisi adiknya yang pucat dengan selang yang bersuliweran diwajah polos adikknya itu. Wulan membuka mata.
“Mas, aku akan berusaha menjadi matahari seperti yang mas minta. Aku akan berusaha. Aku tidak akan membuat mas kecewa. Aku Wulan dan aku kuat untuk hidup. Aku Wulan dan aku sanggup untuk menjangkau harapan-harapanku. Aku ingin menjadi matahari yang selalu membuat mas dan ibu tersenyum. Tapi maafkan aku, jikalau Allah lebih mencintaiku aku tidak bisa menjadi matahari untuk mu dan juga ibu. “
“Tittttttttttttttttt.”
“Kondisinya melemah.”kata Dokter.
Sohib memeluk ibunya.

Komentar

Postingan Populer