KAMI HANYA INGIN ( _________ )

KAMI HANYA INGIN .......
 “Ma, nanti siang aku akan main ke rumah Roman, jadi mama jangan khawatir.”kataku setengah berteriak.
Lalu, mamaku keluar dari dapur dan melihatku yang sedang menalikan sepatu.
“Kenapa mama melihatku seperti itu?”tanyaku aneh.
“Kau tak lihat jam, nak? Pukul berapa sekarang?”kata mama.
Aku melihat jam cokelat yang sudah usang itu.
“Tak apa ma, aku sengaja berangkat pagi karena hari ini aku hendak ujian.”kataku.
“Baiklah, mama mendoakanmu, semoga kau dapatkan nilai  bagus.”kata mama.
“Terimakasih, ma. Dimana baba?”
“Beliau masih di mesjid, pergilah. “kata mamaku.
Aku mencium tangan mama dan pergi ke sekolah.
                                                            .           .           .
Kususuri jalanan desa yang jauh dari polusi. Sungguh indah, hidup di desa yang jauh dari jamahan globalisasi seperti di kota. Aku sering berpikir, bagaimana kehidupan dikota? Apakah mereka masih bisa mendengar suara kodok? Seperti di rumahku? Bisakah mereka menghirup udara yang sejuk di pegunungan sepertiku? Bisakah mereka berlari di sawah yang padinya sedang dipanen? Ditemani kicauan burung pipit yang dengan santainya memakan padi padahal pak Tani tidak henti-hentinya berlari agar burung itu tidak memakan padi yang hendak dipanennya?. 
Sudahlah, lamunanku disadarkan oleh teriakan seseorang dari belakang.
“Mon ..................teriak seseorang dari belakang dengan suara panjang.
Aku menghentikan langkahku dan menunggu laki-laki hitam itu mendekat.
“Hai? Bagaimana kabarmu hari ini?”tanya Sangsong.
“Hahaha, sudah ku kira pasti kau. Siapa lagi temanku yang suka panggil aku ‘Mon’ kecuali kau.”kataku.
Sangsong tersenyum.
“Habisnya ku tak habis pikir, kau mau berteman dengan monyet-monyet liar.”katanya.
“Haha. Monyet. Aku? Kau ? Monyet?”kataku.
“Hanya kau. Aku tidak .”jawab Sangsong.
“Sudahlah, mari berangkat.”ajakku.
Empat kilometer. Itu jalan yang harus kami tempuh. Sangat jauh, tapi demi cita-citaku, mama dan juga baba aku tidak akan pernah mengeluh sedikitpun. Aku ingat ketika baba bicara padaku.
“Monang, kau tahu apa yang baba inginkan darimu?”tanya baba.
“Apa itu ba?”tanyaku.
“Baba ingin kau menjadi anak yang berilmu. Jujurlah dalam berbagai hal dan  jangan pernah mengenal kata mengeluh dalam hidupmu.”kata baba.
“Monang?”kata Sangsong mengagetkanku.
Ternyata aku melamun.
Sepanjang jalan Sangsong tidak berhenti bercerita padaku. Tentang mimpinya semalam.
“Kau pasti tak percaya dengan mimpiku ini.”katanya.
“Memangnya kau mimpi apa?”tanyaku.
“Kau tahu, aku bermimpi bisa terbang dan bertemu denga Einstein.”katanya.
“Oh Sangsong, sungguh tidak masuk akal. Ceritakan mimpimu yang lain.”kataku.
“Mimpiku yang mana?”
“Yang mana sajalah, terserah kau.”
“Mimpiku terlalu banyak.”katanya.
Aku tertawa.
“Kalau begitu biarkan aku yang bercerita.” kataku.
“Kau akan bercerita tentang apa?”tanya Sangsong.
“Tentang hidup ini. “jawabku.
Sebelum aku bercerita, mata kami dikejutkan oleh munculnya seorang anak hitam, kucel dengan baju yang sudah lusuh ‘pula’.
“Sudah pukul 06.15, ayo .”kata Roman menarik bajuku.
Kami bertiga berlari menyusuri jalan setapak yang becek, melewati pohon-pohon yang tinggi menjulang. Dengan monyet-monyet liar yang sesekali muncul dan membuat kami kaget. Ya, monyet-monyet liar itu sudah menjadi temanku. Selain Sangsong dan Roman.
“Ayo, ujian kali ini tidak boleh gagal. Kita pasti bisa dapatkan angka 10, dan babaku akan senang. “ kataku memompa semangat kedua sahabataku.
Kami sampai di sekolah. Sangsong langsung pergi ke toilet karena ia ingin mencuci sepatu ‘butut’nya yang tadi menginjak lumpur. Sedangkan aku memilih untuk duduk sebentar di kursi dekat toilet sambil menunggu Sangsong  dan Roman.
Kalau sedang duduk seperti ini aku jadi ingat kepada Senk , anak kecil itu, anak kecil yang luar biasa, dan sangat tangguh menurutku. Seharusnya ia sekolah tetapi karena ibunya menyuruhnya untuk bekerja , bocah kecil itu tidak bisa apa-apa. Memang, kondisi keluarganya sangat jauh dibawahku. Sehingga ia harus ikut bekerja untuk membantu orangtuanya.  Ya, aku juga jadi ingat nasihat mama
‘ Monang, kau tahu diluar sana berapa ratus orang yang hidup miskin? Jauh dari kita? Kita seharusnya bersyukur, ya walaupun kita hidup di hutan, tapi mama percaya kau akan bisa menjadi seorang pejabat, di Jakarta tentunya”
Oh, mama masih saja mengharapkanku untuk menjadi seorang pejabat, padahal didalam lubuk hati ini, tak sedikitpun aku ingin menjadi pejabat. Aku takut godaan, aku takut uang, aku takut kemewahan. Aku takut lupa akan asalku. Aku takut lupa akan janjiku dan itu akan menjadi dosa bagiku. Dan aku tidak ingin dosa itu menumpuk dalam hidupku
“Hey.”kata Sangsong.
Lagi-lagi Sangsong membuatku kaget.
“Kau melamun lagi. “katanya.
“Mana Roman?”tanyaku.
Sangsong menggelengkan kepala.
“Ya sudahlah, mending kita tunggu dia di kelas saja. “
Aku dan Sangsong berjalan menuju kelas kami. Ya, kelas kami yang sangat tidak layak untuk dijadikan tempat menimba ilmu, atap yang bocor, lantai yang kotor juga papan tulis yang tinggal sebagian, karena sebagian lagi harus dibagi dengan kelas yang lain. Oh, sangat tidak menunjang kupikir. Tapi apalah hendak dikata. Semua ini nyata, tidak dapat aku sangkal. Semua ini tepat di depan mata.
“Asalamualaikum anak-anak yang saya cintai. “ sapa Pak Widodo .
“Bagaimana kabar kalian? Siapa yang hendak bercerita ?”lanjut Pak Widodo.
Aku mengangkat tangan.
“Silahkan, Monang.” Kata Pak  Widodo.
“Sebenarnya saya tidak ingin bercerita pak, tapi saya ingin bertanya. “
Kulihat Pak Widodo mencerna perkataanku.
“Bertanya mengenai apa Monang?”
“Tentang kita , Pak. Tentang aku, bapak, dan semua anak yang menimba ilmu di sekolah ini. “
“Apa masalahmu?”
“Hanya satu.”
“Apa itu?
“Bangunan, Pak. “ jawabku.
Pak Widodo menundukan kepala.
“Aku tak habis pikir pak, apakah kita semua perlu ke kota dan berdemo disana? Ironis sekali pak, jika kita berdemo hanya karena sebuah bangunan.”kataku.
“Benar, pak. Kami ingin mempunyai bangunan yang bagus, tak megah pun tak apa, asalkan kita semua dapat terlindungi dari hujan dan panas saja.”tambah Sangsong.
“Anak-anak terimakasih atas dukungan dari kalian, kami pun berharap ada perbaikan pada sekolah ini. Tapi apalah daya kami yang hidup di hutan yang jauh dari kota, tapi tenang saja, 4 bulan yang lalu kami sudah mengajukan rehabilitas bagi sekolah ini. Dan hari ini dikabarkan pihak pemerintah akan melihat kondisi sekolah kita.“kata Pak Widodo.
Kami semua hanya bisa diam mendengar pernyataan pak Widodo. Aku tahu, 4 bulan yang lalu pihak sekolah meminta bantuan kepada pemerintah tapi buktinya? Sampai sekarang pun bantuan itu belum juga datang. Dan berulang kali kami menanyakan mengenai perbaikan sekolah selalu jawaban itu yang keluar dari mulut pak Widodo.
Ya, aku tahu pihak sekolah pun ingin memperbaiki bangunan sekolah yang lebih layak dijadikan kandang kuda saja.
“Sudah kubilang pak, kita itu jangan terlalu mengharapkan bantuan pemerintah, pemerintah sedang sibuk mengurusi masalah-masalah yang lebih besar dan ada uangnya daripada mengurusi memberikan bantaun pada sekolah kita yang  ada di hutan ini. “
“Sudahlah Monang, tidak ada gunanya kamu berkata demikian, toh mereka tidak akan pernah mendengar apa yang kita ucapkan.”
“Baiklah, aku akan diam, tapi lihat saja suatu saat nanti jika aku sudah menjadi presiden di negeri ini.”
Seketika suasana kelas hening.
“Hey, kenapa kalian diam ?”kataku.
“Kita itu orang hutan dan sangat jauh untuk mencapai kota, bagaimana mungkin kau akan menjadi seorang presiden? Itu hanya angan-angan bodohmu saja Monang.”kata Parkit.
“Hahaha, lihat saja nanti Parkit.”kataku.
“Sudah-sudah, mari kita lanjutkan pelajaran pagi ini.”
Pagi itu aku seperti malas untuk mendengar apa yang dikatakan pak Widodo, bukan memperhatikan apa yang disampaikan pak Tua itu tapi aku malah memikirkan apa yang dikatakan Parkit tadi. Mengenai ketidakmampuanku sebagai orang yang tinggal di hutan untuk menjadi seorang presiden. Sungguh, itu sangat memukulku. Aku tidak bias terima apa yang dikatakan Parkit tapi aku juga tidak bisa membantah kebenaran itu. Akan ketidakmampuan kami, orang yang tinggal di hutan untuk meraih cita-cita.
“Monang,”
“Monang,”
“Apa?”tanyaku pada Sangsong.
“Kenapa kau?”
Aku sedikit membalikan badan untuk melihat Sangsong yang duduk dibelakangku.
“Tidak, hanya sedang merenung.”
“Kutebak, pasti kau memikirkan apa yang dikatakan Parkit tadi kan?”
“Hmm, lagi-lagi kau dapat membaca pikiranku.”
“Nanti kita bicarakan, sekarang perhatikan pak Widodo di depan, kau mau pak Widodo berhenti jadi guru di sekolah kita ini?”
“Baiklah.”
Sepulang sekolah aku dan kedua sahabatku tidak lagsung pulang. Katanya akan ada pejabat dari kabupaten yang akan melihat kondisi sekolahku. Aku menunggu dibawah pohon mangga yang ditanam didepan sekolah. Tak lama kemudian sekelompok orang dengan baju berwarna ‘cream’ masuk ke area sekolah. Mereka saling memandang. Tiba-tiba Sangsong berdiri lalu berlari dan menghampiti seorang laki-laki berkumis tebal yang berjalan paling depan. Dengan penuh rasa hormat Sangsong bersujud di depan laki-laki itu. Lalu ia menangis sambil memeluk kaki laki-laki itu. Kami berdua segera menghampiri Sangsong.
“Hey, tak usah bersujud seperti itu. Sungguh tidak pantas!”kataku sambil menarik tubuh Sangsong.
“Sangsong, bangun!”kata Roman.
Orang-orang yang berdiri di belakang laki-laki berkumis itu menatap kami dengan tatapan tajam. Tangisan Sangsong semakin keras. Sepertinya ia merasakan sakit hati yang terlalu dalam. Lalu, Roman malah menjatuhkan dirinya. Hanya aku yang masih beridir tegak.
“Ada apa ini?”tanyaku pada Roman dan Sangsong.
Laki-laki yang merupakan ketua Dinas Pendidikan itu membantu Sangsong beridiri.
“Bangunlah!”kata laki-laki itu.
“Tidak!” kata Sangsong.
“Hey, kalian membuatku malu! Bukankah kalian sudah berjanji tidaak akan bersikap ramah pada mereka?”kataku kesal.
Roman angkat bicara.
“Lihatlah pak, bagaimana kami harus belajar. Dianatara kucuran air hujan yang dengan gansanya membasahi buku-buku kami. Ini bukan sekolah tapi ini adalah kandang kuda!”kata Roman.
Aku diam.
“Ini kandang monyet, pak. Dan kami adalah monyet-monyet itu. Monyet-monyet yang telah kalian lupakan. Kalian dengan kemewahan hidup di kota, sedangka kami harus berjuang hanya untuk sekadar mencari ilmu. Kami berjalan melewati hutan yang bisa saja tanpa sepengtahuan kami akan membuuh kami secara perlahan.”kata Sangsong.
“Ya, kami hanya ingin sekolah yang layak.”kataku lemas.
Semua orang diam. Mereka mencerna perkataan yang disampaikan Sangsong.
“Kami hanya ingin sebuah kelayakan dalam menuntut ilmu, pak. Itu saja.ata Sangsong sambil berdiri dan berlari meninggalkan sekelompo orang itu. Roman dan aku mengikuti Sangsong dari belakang.
“Kau bercanda?”kataku sambil berlari menyamakan langkah dengan Sangsog.
“Tidak.”jawab Sangsong.
“Lalu?”tanya Roman.
“Bukankah itu isi hati kita, kawan?”kata Sangsong.
Aku dan Roman tersenyum.
 KAMI HANYA INGIN .......
 “Ma, nanti siang aku akan main ke rumah Roman, jadi mama jangan khawatir.”kataku setengah berteriak.
Lalu, mamaku keluar dari dapur dan melihatku yang sedang menalikan sepatu.
“Kenapa mama melihatku seperti itu?”tanyaku aneh.
“Kau tak lihat jam, nak? Pukul berapa sekarang?”kata mama.
Aku melihat jam cokelat yang sudah usang itu.
“Tak apa ma, aku sengaja berangkat pagi karena hari ini aku hendak ujian.”kataku.
“Baiklah, mama mendoakanmu, semoga kau dapatkan nilai  bagus.”kata mama.
“Terimakasih, ma. Dimana baba?”
“Beliau masih di mesjid, pergilah. “kata mamaku.
Aku mencium tangan mama dan pergi ke sekolah.
                                                            .           .           .
Kususuri jalanan desa yang jauh dari polusi. Sungguh indah, hidup di desa yang jauh dari jamahan globalisasi seperti di kota. Aku sering berpikir, bagaimana kehidupan dikota? Apakah mereka masih bisa mendengar suara kodok? Seperti di rumahku? Bisakah mereka menghirup udara yang sejuk di pegunungan sepertiku? Bisakah mereka berlari di sawah yang padinya sedang dipanen? Ditemani kicauan burung pipit yang dengan santainya memakan padi padahal pak Tani tidak henti-hentinya berlari agar burung itu tidak memakan padi yang hendak dipanennya?. 
Sudahlah, lamunanku disadarkan oleh teriakan seseorang dari belakang.
“Mon ..................teriak seseorang dari belakang dengan suara panjang.
Aku menghentikan langkahku dan menunggu laki-laki hitam itu mendekat.
“Hai? Bagaimana kabarmu hari ini?”tanya Sangsong.
“Hahaha, sudah ku kira pasti kau. Siapa lagi temanku yang suka panggil aku ‘Mon’ kecuali kau.”kataku.
Sangsong tersenyum.
“Habisnya ku tak habis pikir, kau mau berteman dengan monyet-monyet liar.”katanya.
“Haha. Monyet. Aku? Kau ? Monyet?”kataku.
“Hanya kau. Aku tidak .”jawab Sangsong.
“Sudahlah, mari berangkat.”ajakku.
Empat kilometer. Itu jalan yang harus kami tempuh. Sangat jauh, tapi demi cita-citaku, mama dan juga baba aku tidak akan pernah mengeluh sedikitpun. Aku ingat ketika baba bicara padaku.
“Monang, kau tahu apa yang baba inginkan darimu?”tanya baba.
“Apa itu ba?”tanyaku.
“Baba ingin kau menjadi anak yang berilmu. Jujurlah dalam berbagai hal dan  jangan pernah mengenal kata mengeluh dalam hidupmu.”kata baba.
“Monang?”kata Sangsong mengagetkanku.
Ternyata aku melamun.
Sepanjang jalan Sangsong tidak berhenti bercerita padaku. Tentang mimpinya semalam.
“Kau pasti tak percaya dengan mimpiku ini.”katanya.
“Memangnya kau mimpi apa?”tanyaku.
“Kau tahu, aku bermimpi bisa terbang dan bertemu denga Einstein.”katanya.
“Oh Sangsong, sungguh tidak masuk akal. Ceritakan mimpimu yang lain.”kataku.
“Mimpiku yang mana?”
“Yang mana sajalah, terserah kau.”
“Mimpiku terlalu banyak.”katanya.
Aku tertawa.
“Kalau begitu biarkan aku yang bercerita.” kataku.
“Kau akan bercerita tentang apa?”tanya Sangsong.
“Tentang hidup ini. “jawabku.
Sebelum aku bercerita, mata kami dikejutkan oleh munculnya seorang anak hitam, kucel dengan baju yang sudah lusuh ‘pula’.
“Sudah pukul 06.15, ayo .”kata Roman menarik bajuku.
Kami bertiga berlari menyusuri jalan setapak yang becek, melewati pohon-pohon yang tinggi menjulang. Dengan monyet-monyet liar yang sesekali muncul dan membuat kami kaget. Ya, monyet-monyet liar itu sudah menjadi temanku. Selain Sangsong dan Roman.
“Ayo, ujian kali ini tidak boleh gagal. Kita pasti bisa dapatkan angka 10, dan babaku akan senang. “ kataku memompa semangat kedua sahabataku.
Kami sampai di sekolah. Sangsong langsung pergi ke toilet karena ia ingin mencuci sepatu ‘butut’nya yang tadi menginjak lumpur. Sedangkan aku memilih untuk duduk sebentar di kursi dekat toilet sambil menunggu Sangsong  dan Roman.
Kalau sedang duduk seperti ini aku jadi ingat kepada Senk , anak kecil itu, anak kecil yang luar biasa, dan sangat tangguh menurutku. Seharusnya ia sekolah tetapi karena ibunya menyuruhnya untuk bekerja , bocah kecil itu tidak bisa apa-apa. Memang, kondisi keluarganya sangat jauh dibawahku. Sehingga ia harus ikut bekerja untuk membantu orangtuanya.  Ya, aku juga jadi ingat nasihat mama
‘ Monang, kau tahu diluar sana berapa ratus orang yang hidup miskin? Jauh dari kita? Kita seharusnya bersyukur, ya walaupun kita hidup di hutan, tapi mama percaya kau akan bisa menjadi seorang pejabat, di Jakarta tentunya”
Oh, mama masih saja mengharapkanku untuk menjadi seorang pejabat, padahal didalam lubuk hati ini, tak sedikitpun aku ingin menjadi pejabat. Aku takut godaan, aku takut uang, aku takut kemewahan. Aku takut lupa akan asalku. Aku takut lupa akan janjiku dan itu akan menjadi dosa bagiku. Dan aku tidak ingin dosa itu menumpuk dalam hidupku
“Hey.”kata Sangsong.
Lagi-lagi Sangsong membuatku kaget.
“Kau melamun lagi. “katanya.
“Mana Roman?”tanyaku.
Sangsong menggelengkan kepala.
“Ya sudahlah, mending kita tunggu dia di kelas saja. “
Aku dan Sangsong berjalan menuju kelas kami. Ya, kelas kami yang sangat tidak layak untuk dijadikan tempat menimba ilmu, atap yang bocor, lantai yang kotor juga papan tulis yang tinggal sebagian, karena sebagian lagi harus dibagi dengan kelas yang lain. Oh, sangat tidak menunjang kupikir. Tapi apalah hendak dikata. Semua ini nyata, tidak dapat aku sangkal. Semua ini tepat di depan mata.
“Asalamualaikum anak-anak yang saya cintai. “ sapa Pak Widodo .
“Bagaimana kabar kalian? Siapa yang hendak bercerita ?”lanjut Pak Widodo.
Aku mengangkat tangan.
“Silahkan, Monang.” Kata Pak  Widodo.
“Sebenarnya saya tidak ingin bercerita pak, tapi saya ingin bertanya. “
Kulihat Pak Widodo mencerna perkataanku.
“Bertanya mengenai apa Monang?”
“Tentang kita , Pak. Tentang aku, bapak, dan semua anak yang menimba ilmu di sekolah ini. “
“Apa masalahmu?”
“Hanya satu.”
“Apa itu?
“Bangunan, Pak. “ jawabku.
Pak Widodo menundukan kepala.
“Aku tak habis pikir pak, apakah kita semua perlu ke kota dan berdemo disana? Ironis sekali pak, jika kita berdemo hanya karena sebuah bangunan.”kataku.
“Benar, pak. Kami ingin mempunyai bangunan yang bagus, tak megah pun tak apa, asalkan kita semua dapat terlindungi dari hujan dan panas saja.”tambah Sangsong.
“Anak-anak terimakasih atas dukungan dari kalian, kami pun berharap ada perbaikan pada sekolah ini. Tapi apalah daya kami yang hidup di hutan yang jauh dari kota, tapi tenang saja, 4 bulan yang lalu kami sudah mengajukan rehabilitas bagi sekolah ini. Dan hari ini dikabarkan pihak pemerintah akan melihat kondisi sekolah kita.“kata Pak Widodo.
Kami semua hanya bisa diam mendengar pernyataan pak Widodo. Aku tahu, 4 bulan yang lalu pihak sekolah meminta bantuan kepada pemerintah tapi buktinya? Sampai sekarang pun bantuan itu belum juga datang. Dan berulang kali kami menanyakan mengenai perbaikan sekolah selalu jawaban itu yang keluar dari mulut pak Widodo.
Ya, aku tahu pihak sekolah pun ingin memperbaiki bangunan sekolah yang lebih layak dijadikan kandang kuda saja.
“Sudah kubilang pak, kita itu jangan terlalu mengharapkan bantuan pemerintah, pemerintah sedang sibuk mengurusi masalah-masalah yang lebih besar dan ada uangnya daripada mengurusi memberikan bantaun pada sekolah kita yang  ada di hutan ini. “
“Sudahlah Monang, tidak ada gunanya kamu berkata demikian, toh mereka tidak akan pernah mendengar apa yang kita ucapkan.”
“Baiklah, aku akan diam, tapi lihat saja suatu saat nanti jika aku sudah menjadi presiden di negeri ini.”
Seketika suasana kelas hening.
“Hey, kenapa kalian diam ?”kataku.
“Kita itu orang hutan dan sangat jauh untuk mencapai kota, bagaimana mungkin kau akan menjadi seorang presiden? Itu hanya angan-angan bodohmu saja Monang.”kata Parkit.
“Hahaha, lihat saja nanti Parkit.”kataku.
“Sudah-sudah, mari kita lanjutkan pelajaran pagi ini.”
Pagi itu aku seperti malas untuk mendengar apa yang dikatakan pak Widodo, bukan memperhatikan apa yang disampaikan pak Tua itu tapi aku malah memikirkan apa yang dikatakan Parkit tadi. Mengenai ketidakmampuanku sebagai orang yang tinggal di hutan untuk menjadi seorang presiden. Sungguh, itu sangat memukulku. Aku tidak bias terima apa yang dikatakan Parkit tapi aku juga tidak bisa membantah kebenaran itu. Akan ketidakmampuan kami, orang yang tinggal di hutan untuk meraih cita-cita.
“Monang,”
“Monang,”
“Apa?”tanyaku pada Sangsong.
“Kenapa kau?”
Aku sedikit membalikan badan untuk melihat Sangsong yang duduk dibelakangku.
“Tidak, hanya sedang merenung.”
“Kutebak, pasti kau memikirkan apa yang dikatakan Parkit tadi kan?”
“Hmm, lagi-lagi kau dapat membaca pikiranku.”
“Nanti kita bicarakan, sekarang perhatikan pak Widodo di depan, kau mau pak Widodo berhenti jadi guru di sekolah kita ini?”
“Baiklah.”
Sepulang sekolah aku dan kedua sahabatku tidak lagsung pulang. Katanya akan ada pejabat dari kabupaten yang akan melihat kondisi sekolahku. Aku menunggu dibawah pohon mangga yang ditanam didepan sekolah. Tak lama kemudian sekelompok orang dengan baju berwarna ‘cream’ masuk ke area sekolah. Mereka saling memandang. Tiba-tiba Sangsong berdiri lalu berlari dan menghampiti seorang laki-laki berkumis tebal yang berjalan paling depan. Dengan penuh rasa hormat Sangsong bersujud di depan laki-laki itu. Lalu ia menangis sambil memeluk kaki laki-laki itu. Kami berdua segera menghampiri Sangsong.
“Hey, tak usah bersujud seperti itu. Sungguh tidak pantas!”kataku sambil menarik tubuh Sangsong.
“Sangsong, bangun!”kata Roman.
Orang-orang yang berdiri di belakang laki-laki berkumis itu menatap kami dengan tatapan tajam. Tangisan Sangsong semakin keras. Sepertinya ia merasakan sakit hati yang terlalu dalam. Lalu, Roman malah menjatuhkan dirinya. Hanya aku yang masih beridir tegak.
“Ada apa ini?”tanyaku pada Roman dan Sangsong.
Laki-laki yang merupakan ketua Dinas Pendidikan itu membantu Sangsong beridiri.
“Bangunlah!”kata laki-laki itu.
“Tidak!” kata Sangsong.
“Hey, kalian membuatku malu! Bukankah kalian sudah berjanji tidaak akan bersikap ramah pada mereka?”kataku kesal.
Roman angkat bicara.
“Lihatlah pak, bagaimana kami harus belajar. Dianatara kucuran air hujan yang dengan gansanya membasahi buku-buku kami. Ini bukan sekolah tapi ini adalah kandang kuda!”kata Roman.
Aku diam.
“Ini kandang monyet, pak. Dan kami adalah monyet-monyet itu. Monyet-monyet yang telah kalian lupakan. Kalian dengan kemewahan hidup di kota, sedangka kami harus berjuang hanya untuk sekadar mencari ilmu. Kami berjalan melewati hutan yang bisa saja tanpa sepengtahuan kami akan membuuh kami secara perlahan.”kata Sangsong.
“Ya, kami hanya ingin sekolah yang layak.”kataku lemas.
Semua orang diam. Mereka mencerna perkataan yang disampaikan Sangsong.
“Kami hanya ingin sebuah kelayakan dalam menuntut ilmu, pak. Itu saja.ata Sangsong sambil berdiri dan berlari meninggalkan sekelompo orang itu. Roman dan aku mengikuti Sangsong dari belakang.
“Kau bercanda?”kataku sambil berlari menyamakan langkah dengan Sangsog.
“Tidak.”jawab Sangsong.
“Lalu?”tanya Roman.
“Bukankah itu isi hati kita, kawan?”kata Sangsong.
Aku dan Roman tersenyum.

Komentar

Postingan Populer