Tak Ada Bunga Hari Ini




Semakin paham bahwa ia bukanlah laki-laki yang romantis, harusnya semakin menyadarkan bahwa aku tak boleh banyak meminta padanya. ‘Selamat pagi, sayang’, ‘Selamat tidur, sayang’ atau kalimat-kalimat sederhana lainnya. Sebaiknya aku lebih banyak memberi, memberi kasih sayang yang tulus, perhatian setiap saat dan tentunya doa yang tak pernah putus untuk kebaikannya. Suamiku jelas berbeda dari kebanyakan, kupastikan tidak ada yang seperti dia dan bagiku dialah yang terbaik. Dia yang terbaik. Aku menyayanginya. Titik.
                                                                        .           .           .
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”tanyaku ketika makan malam.
“Baik.”jawabnya.
“Kamu tidak akan dipindahkan ke Kalimantan kan?”
“Belum tahu. Tak mengapa kan kalau aku bekerja di Kalimantan?”
“Terus aku harus sendirian di Jakarta, begitu kan maksud kamu?”tanyaku dalam hati.
Aku diam selama makan malam.
“Kamu kenapa?”tanyanya.
“Tidak, teruslah makan aku akan mencuci baju.”
“Kamu baru makan sedikit.”
“Jangan khawatir”
Aku segera pergi menuju ke dapur, bukan, bukan untuk mencuci baju. Mungkin suamiku juga mengerti aku kesal dengan pertanyaannya, mungkin juga dia tidak sadar sama sekali. Aku menyandarkan tubuh ke tembok. Aku jadi rindu Mama di rumah. Apa aku pulang saja untuk bercerita? Ah, aku kan sudah besar, sudah menjadi istri orang. Atau aku pulang saja ke rumah Ibu mertua, sejenak beristirahat dan bercerita banyak padanya. Beliau juga orang yang baik. Ah, tapi istri macam apa aku ini baru beberapa bulan menikah padahal. Baiklah, aku kembali berdiri. Seperti biasa aku akan menaruh bunga mawar di ruang kerjanya. Aku hafal, setelah makan malam ia akan menuju ruang kerjanya sampai jam 12 lalu pergi ke kamar untuk tidur. Aku suntuk menunggunya,tetapi tidurku tidak tenang tanpa melihatnya berada tepat disampingku. Jadi, kebiasaanku adalah pura-pura tertidur. Lalu, setelah dia tertidur aku mencuri-curi pandangan menatap wajahnya yang lelah sehabis bekerja seharian. Bukankah tugas seorang istri adalah menghebatkan suami-suaminya? Benar. Sejak ia memutuskan untuk memilihku menjadi istrinya aku sudah bertekad akan menghebatkan dia.
Setelah menaruh mawar di ruang kerjanya, aku akan pergi ke kamar tidur untuk berpura-pura tidur sambil menunggunya selesai menyelesaikan pekerjan kantornya. Jam menunjukkan pukul 01.30 tetapi ia belum juga masuk kamar tidur. Kemana dia? Aku bangun dan pergi menuju ruang kerjanya. Oh Tuhan, dia tertidur pulas di meja kerjanya dengan beberapa gelas kosong bekas kopi. Bunganya? Bunganya tidak ada dimeja. Ah, aku tak ingin memikirkan bunga yang kupikirkan adalah bagaimana membangunkan suamiku ini.
“Hei. Ayo pindah.”kataku pelan. Namun, ia sama sekali tidak terbangun. Baiklah, aku punya ide bagus. Aku membawa karpet tipis dari ruang tv untuk kugelar di ruang kerjanya. Aku menyelimutinya, aku tahu pasti pagi-pagi ia akan kesakitan karena posisi tidur yang tidak benar. Baiklah, aku sudah memastikan ia tidak akan kedinginan. Aku akan tidur diatas karpet ini, memastikan kalau tidak ada yang akan mengganggunya. Bukankah begitu? Seorang istri juga harus bisa melindungi suaminya? Ya, termasuk dari godaan perempuan-perempuan lain. Jam sudah menunjukan pukul 02.40 tapi aku belum juga bisa tertidur. Aku khawatir ia akan terbangun dan punggungnya akan sakit. Aku bangkit, lalu menyeret kursi mendekat dengan meja kerja suamiku. Aku menaruh kepala diatas meja, aku kembali menatap wajahnya. Kebiasaanku setelah menikah ada memegang tangannya, memastikan dia ada didekatku dan baik-baik saja. Jarum jam terus saja berputar, menemaniku mengingat apa yang telah kami lalu setelah 4 tahun menjalin hubungan dan pertengahan tahun ini kami resmi menjadi suami istri.
Astaga. Aku terlambat bangun, sudah pukul 04.40. Terakhir yang aku ingat jam menunjukkan pukul 04.12, jadi aku hanya tertidur beberapa menit saja. Aku menuju ke kamar mandi untuk membersihkan wajah dan membangunkannya untuk shalat berjamaah. Setelah itu, aku segera menuju dapur untuk mempersiapkan sarapan pagi untuknya. Astaga, aku lupa tak membereskan kursi dan karpet di ruangan kerjanya. Apa yang akan dipikirkannya ya? Ah, bodohnya.
Dia sudah siap di ruang makan. Aku membawa nasi dan lauk untuk sarapan. Ketika hendak menyimpan nasi, dia menatapku dengan tatapan yang bertanya ada apa dengan wajahmu? Aku segera mengalihkan perhatiannya.
“Kamu tidak lembur kan hari ini?”tanyaku.
“Masih. Kamu tidur saja duluan. Jangan tidur malam-malam.”jawabnya.
Sarapan pagi tanpa banyak obrolan-obrolan berlalu begitu saja. Dia sudah selesai makan, dan aku merasakan kepalaku berat sekali. Dia mulai berdiri dan sebelum berangkat ia akan mengelus-elus kepalaku.
“Jaga rumah ya.”katanya.
“Siap komandan.”jawabku.
Hal seperti itu terus berulang sampai bulan ke 5 pernikahan kita. Bunga mawar, elusan kepala dipagi hari, berulang begitu saja. Dia semakin sibuk dengan pekerjaannya. Aku sibuk dengan fantasiku dengan cerita-cerita dalam novelku. Juga sibuk dengan merindukannya yang tidak sebegitu sibuk seperti sekarang ini. Tetapi, sebagai istri yang baik aku berpikir bahwa ia melakukan hal tersebut untuk kebaikanku. Tipe laki-laki yang realistis tanpa basa-basi.
                                                            .           .           .
Suatu malam aku memilih merenung di belakang rumah ditemani laptop dan secangkir kopi hitam. Sudah lama tidak mencicipi kopi hitam yang biasa kuminum bersama kawan-kawan ketika kuliah dulu. Terakhir meminum adalah seminggu setelah menikah, lalu magh ku kembali kambuh dan aku dibawa ke rumah sakit. Suamiku marah besar dan tidak mengizinkanku untuk meminum kopi lagi. Sekarang dia sudah sangat sibuk, sibuk, sibuk, dan sibuk. Tidak tahu istrinya makan apa dan minum apa, mungkin juga ia tidak peduli apakah istrinya sakit sekalipun. Pikiranku memang kacau malam ini. Aku belum juga bercerita bahwa aku telah diterima bekerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Tiba-tiba perutku merasa nyeri, aku mual, dan kepalaku berat. Apakah ini efek kopi? Seminggu ini aku memang meminum banyak kopi. Alasannya, karena aku akan menunggu suamiku pulang bekerja. Memastikan dia masuk ke dalam rumah dan tertidur pulas.
Jam kembali menunjukkan pukul 02.00 ada yang membuka pintu depan. Aku berlari dari taman belakang. Aku telat, ia sudah masuk ruang kerjanya. Aku masuk ke dalam ruang kerjanya.
“Kamu pulang larut lagi.”kataku sambil duduk di sofa.
“Iya, banyak pekerjaan”jawabnya.
“Tidurlah, istirahat.”
“Sebentar lagi, ada yang harus kuselesaikan”
“Tapi, “
‘”Kamu kenapa belum tidur?”
Belum aku menjawab aku terheran-heran melihat gelagatnya seperti sedang mencari sesuatu diatas meja kerjanya.
Aku terbatuk-batuk. Kepalaku berat, aku mual. Aku bangkit dengan menahan mual.
“Aku ke toilet dulu”kataku sambil berlari.
Aku berharap ia mengejarku, membawakanku handuk kecil dan membawakanku teh hangat. Aku mungkin akan kembali tumbang. Penglihatanku mengabur. Ayolah jangan sakit. Aku muntah berulang-ulang. Badanku lemas, aku menyandarkan badan ke tembok. Kulihat wajahku benar-benar pucat. Aku berjalan sempoyongan. Berjalan pelan menuju ke kamar. Kupastikan dia masih di ruang kerjanya. Ah, maafkan aku Tuhan kali ini aku ingin merebahkan tidurku di kasur dan belum bisa menemani suamiku selepas bekerja. Aku menangis menahan sakit diperut. Ketika aku membuka pintu kamar, benar saja, tidak ada suamiku. Aku menjatuhkan badan ke lantai, meyandarkan badan ke samping kasur lalu menangis. Ingin sekali menelpon Mama atau Ibu. Aku bangkit, lalu merebahkan tubuhku yang lemas di atas kasur. Menutup wajahku dengan selimut. Tiba-tiba.
Sebuah tangan membuka selimutku dan mendapatiku menangis dengan wajah pucat pasi.
“Bangun, bangun” katanya
Ia memeluk tubuhku erat, samar-samar aku melihat ia meneteskan air mata.
“Jangan terlalu erat, aku sesak,”kataku.
“Aku minum kopi lagi.”lanjutku
Ia kembali memelukku erat seakan tidak ingin melepaskannya. Aku pasrah saja karena benar-benar lemas. Aku rindu pelukan ini, aku rindu tidur dibahunya. Memainan hidungnya.
“Aku terlalu sibuk, aku tidak memperhatikan kesehatanmu.”
“Jangan khawatir, aku tak apa-apa kok.”
Ia menoyor kepalaku, kebiasannya ketika kesal dengan ulah jahilku.
“Tak apa-apa gimana, kamu ini sakit.”
Suasana hening beberapa detik.
“Tidak ada bunga hari ini.”katanya
“Hah?”kataku sambil mendongak melihat wajahnya.
“Makasih ya sayang, “
“Untuk?”
“Untuk setiap bunga yang kamu tata rapih dekat buku harianku.”
“Kamu kenapa?”
“Memangnya kamu pikir aku membuang bunga darimu?”
“Tidak. Aku berpikir positif kamu menyimpannya karena kamu tidak ingin terlihat melow dihadapanku, ya kan?”kataku sambil menggodanya.
Dia menggelitik.
“Perutku.”kataku lirih
Dia menggendongku menuju taman belakang. Hari itumemang masih pagi bahkan terlalu bagi untuk keluar rumah. Dari sebuah bale yang menjadi tempatku menulis novel, ia menidurkan kepalaku dipahanya. Mengelus-elus kepalaku dan tak hentinya menatapku.
“Kamu gak kesambet?”tanyaku
“Sayang, aku menyayangi bukan berarti aku harus setiap saat memberikan salam dengan akhiran kata sayang kan? Bukan pula kita menghabiskan waktu seharian bersama setiap hari? Kamu mengerti?”
“Maafkan aku terlalu banyak meminta, tetapi ...”
Dia menutup mulutku.
“Aku bekerja keras untuk membahagiakanmu, memang sih aku benar-benar sibuk akhir-akhir ini. Kenapa aku bersikap tenang saja karena aku yakin kamu bukanlah tipe-tipe perempuan lemah yang ah tak usah kita bahas itu. Aku yakin kamu adalah perempuan dewasa yang sudah mengerti bagaimana menghadapi seorang laki-laki, kan?”
Aku bangkit dan memeluk tangannya erat.
“Aku tahu kamu tertidur dimeja kerjaku, memastikan aku benar-benar terlelap dalam istirahat yang singkat. Kau lupa membereskan kursi yang kau tarik dan karpet kan? Ah, aku kesal juga padamu.”katanya
“Kenapa?”
“Aku kan sudah katakan jangan tidur terlalu malam, apalagi mau tidur di lantai dengan karpet tipis. Itu tidak baik buat kesehatan kamu. Aku sudah katakan ini berulang-ulang.”
“Aku ingin memastikan kamu benar pulang dengan seamat ke rumah.”kataku sambil menunduk.
“Aku tidak akan pernah lupa jalan untuk pulang, sayang. Aku tahu jalan kemana menemui istriku yang jagoan ini.”
Ah, air mataku  menetes. Menganak sungai membanjiri pipi ini.
“Jangan nangis, sini peluk”
Aku memeluknya erat, oh Tuhan aku sangat menyayangi laki-laki ini. Sejak pertama melihatnya dibangku kuliah dulu, entah mengapa aku selalu berkata bahwa dia lah orang yang tepat untuk aku beri perhatian penuh. Dia lah orang yang tepat untuk aku bahagiakan. Aku menyayanginya, Tuhan. Aku terus memeluknya erat, dia mengelus-elus kepalaku.
“Hei, tebak aku menyimpan bunga yang kau beri dimana?”tanyanya.
“Tempat sampah, haha”jawabku
Segera ia menggendongku menuju kamar, menidurkanku dikasur lalu aku diajak melihat sesuatu di dalam lemari. Aku melihat kumpulan bunga mawar yang ditata sedemikian indah, ia jaga mawarnya dan diantara bunga-bunga itu ada sejumlah poto. Poto yang paling besar adalah wajahku yang didalamnya tertulis, “Untukmu yang selalu menunggu aku pulang, untukmu yang selalu memastikan aku terlelap dalam istirahat, untukmu bidadari tersayang. Semoga Tuhan selalu menjaga kita ya, sayang. Tangisku pecah!
Tidak pernah ada laki-laki yang tidak romantis, mereka hanya punya cara masing-masing untuk membuat perempuannya bahagia –Viamardiana-

Komentar

Postingan Populer