Sang Pengagum Hujan Sore Hari
Kata seorang penulis
yang aku lupa namanya, menulislah apa yang ingin kamu tulis, tulislah apa yang
ada diotakmu. Jangan berpikir tulisanmu jelek lalu tak memikat orang-orang,
tulis saja dulu. Ya, sore ini aku akan kembali menulis.
Sore ini tanah kembali basah,
ada wangi-wangi tanah yang kusuka saat turunnya hujan. Wangi yang syahdu, ingin
merasakan wangi itu lebih dekat agar benar-benar terhirup semuanya tanpa ada
yang tersisa. Tapi jangan pernah jadi orang yang rakus, hidupnya nanti tak akan
bahagia. Hirup saja sebisamu, sedekat jarakmu berada sekarang, nikmati yang
menjadi kehendak Tuhan atas wangi yang diberikan. Hayati masuknya udara kedalam
hidung. Wangi tanah.
Tuntaslah rindu tanah
pada hujan setelah berbulan-bulan melakukan pendekatan pada awan. Sore ini,
hujan kembali turun dengan tabah dan memesona. Terjatuh dari ketinggian,
menyapa tanah dengan anggunnya, lalu mengalir mengikuti kaidah gravitasi ke
tempat yang rendah. Aku suka wanginya, aku suka hujannya. Jangan pikir awan
dengan mudah memberi hujan izin turun kebawah, melepaskan rindu pada sang tanah
yang mengalami kekeringan, yang karenanya banyak tumbuhan mati kekeringan dan
manusia-manusia berani meminum air comberan. Diatas sana, hujan melakukan negosiasi
dengan awan, tentu bukan hal yang mudah karena awan pun harus mendapatkan
legalitas dari lautan juga matahari. Jika tak dapat izin matahari maka ia tak
akan memberikan sinar pada lautan untuk menguap dan menjadikan airnya menjadi
butiran-butiran naik keatas dan menjadikannya, si awan. Hujan akan terus meminta
izin agar cepat dipertemukan dengan tanah. Beginilah rupanya menuntaskan rindu
ya, butuh banyak perjuangan. Ternyata tak hanya hujan yang melakukan negosiasi,
tanah pun dengan sekuat tenaga berbisik setiap hari pada lautan untuk
memberikan airnya yang akan berubah menjadi awan. Dua hal yang saling
memperjuangkan untuk menciptakan titik temu yang romantis diawal bulan agustus.
Siapa yang tak
mengagumi hujan? Banyak. Kemarin ketika tanah mengering banyak yang menggerutu
meminta hujan diturunkan, ketika hujan datang gerutuan masih didendangkan
Berlagak sok sibuk ada urusan, atau juga karena cucian yang akan basah. Ah,
kurang menikmati sekali mereka. Bisa sepertinya hujan berkata, “Kemarin rindu
padaku, kalian mengelu-elukanku, memintaku datang, sekarang aku datang malah
tak diindahkan. Padahal aku datang setelah perjuangan panjang”. Kujelaskan
mengapa aku mengagumi hujan yang kata orang-orang membuat tidak nyaman. Basah?
Jelas, hujan adalah air. Silahkan saja meminta jika ingin hujan batu, mau? Aku
sih tidak. Hujan batu tak bisa kunikmati, karena jutaan manusia akan mengurung
diri untuk menghindari luka dari batuan yang turun. Aku menganguminya karena
ketabahan yang ia punya, setelah berjuang meminta izin langit, matahari, lautan
juga Tuhan ia masih rela merasakan jatuh yang sakit. Dari atas ke bawah, siapa
bilang tidak sakit? Tetapi ia tabah menerimanya, demi menuntaskan rindu pada
sang tanah. Hujan memang identik dengan keromantisan, sepasang kekasih yang
kehujanan sehabis pulang sekolah, sang perempuan kedinginan lalu sang lelaki
memberikan jaketnya lalu berkata, “Pakai jaketku, kamu pasti kedinginan”, sang
perempuan mengangguk, saat itu sang lelaki menahan dingin untuk menyamankan sang
perempuan. Ah, itu biasa saja ternyata. Ada yang lebih romantis yang dibuat
hujan. Apa? Senyum seorang petani yang beberapa hari yang lalu menangis karena
gagal panen akibat kekeringan. Hujan memberi rezeki pada siapapun di muka bumi
jika kita ramah padanya. Tetapi, hujan bisa menjadi penyebab kesedihan pula
yakni ketika puncak Bogor hujan dan Jakarta kebanjiran. Terlalu luas kubahas.
Aku mengagumi hujan karena hujan menciptakan rindu. Rindu yang sengaja disimpan
terlebih dahulu lalu bertemu dalam balutan senyum yang istimewa.
Aku menikmati hujan
dari dalam kamar. Eh, melihat tanpa menikmati basahnya air maksudku. Aku
perhatikan dari jendela bahwa air masih turun, seperti mengelus manja sang
tanah. Aku menertawai mereka, mereka lagi dimabuk cinta sepertinya lupa kalau
manusia-manusia diatasnya tak semua punya peneduh. Kubayangkan mereka saling
tertawa, saling mencubit, sang hujan melindungi tanah, dan sang tanah pasrah
dalam dinginnya dipeluk sang hujan. Lucu bukan? Menggemaskan dan menggoda untuk
diganggu.
Sudahlah, selamat
menikmati pertemuan yah Hujan dan Tanah. Bahagia lah kalian, karena aku
menikmati hujanmu dan wangi tanahmu. Akulah sang pengagum hujan yang sedang merintis karir menjadi penikmat hujan, akulah sang peminta-minta ketabahan dari hujan, akulah yang selalu merindu dengan hebat dikala sepi. Akulah pengagum hujan dengan segala berkah Tuhan meminta selalu untuk dinikmatkan dalam menikmatinya, akulah sang pengagum hujan yang juga masih butuh peneduh ketika disapa hujan, apalagi hujan sore hari.
Komentar
Posting Komentar