Kata Orang, itu Ranu Kumbolo






Selamat pagi, Langit. Selamat pagi, Tanah. Selamat pagi, Lautan. Selamat pagi, Neptunus. Juga selamat pagi kekasih, Gunung. Apakabar semesta? Apakabar kalian khalayak ramai? Ada rindu dariku setelah beberapa waktu kita tak temu, bagaimana dengan kalian? Rindu juga? Yuk, kita tuntaskan rindu ini.
Kuawali dengan aku bangun pagi, tadinya aku berencana untuk lari pagi di belakang gymnasium, dan keinginan itu pun luntur setelah melihat laptop teronggok dengan rapih disebelah kasur. Sore kemarin aku menutupnya mesra dengan berkata, “Kita harus kerjasama yah, Monny. Aku berimaji bahwa ia mengangguk lirih tanda letih, tetapi aku akan pura-pura tidak tahu saja, sebab aku membutuhkannya untuk mengerjakan skripsiku. Berbeda, nampaknya pagi ini ia ingin cepat kusentuh. Ia seperti sedang menari-nari lalu berkata, “Ayo Nduk, aku bantu kamu selesaikan studimu”. Lalu, aku menjawab dalam hati, “Iya Monny, aku semangat kok. Sebentar aku cuci muka dulu yah”. Setelah mencuci muka, aku kembali sempatkan memandangi laptop merah tersebut sebelum membukanya. Aku bangunkan Monny. Berimaji ia tersenyum. Tau tidak? Dia aku bayangkan sebagai seorang wanita usia 35 tahunan yang berambut pendek dan agak nyentrik, ia selalu menggunakan lipstik merah cerah. Kalau ia sudah letih ia akan mendengus sama sepertiku. Lupakan, itu imajiku loh.
Setelah beberapa waktu melihat-lihat file data penelitian, aku memutar musik di winamp dan lagu mahameru berputar. Kekasih, kau masih menungguku ya? Sedang aku seperti tak berusaha untuk menuntaskan pertemuan kita. Aku teriak menyanyikan lagu yang pertama kali kudengar ketika melakukan ekspedisi di Mentawai, syahdu. Aku jelas iri pada mereka yang telah berkesempatan mencumbui pasirnya yang megah, jelas aku iri. Seketika aku membayangkan bagaimana ketika aku merangkak diatas pasirnya untuk menggapai yang dikatakan orang-orang itu ‘puncak’, aku tertawa kecil lalu mendengus. Lalu tersenyum menyeringai didepan cermin berbentuk lingkaran, “Halah, gitu doang engga bisa”. Dalam bathinku seperti meronta, “Sombongnya kau, Nduk.”
Aku menertawai diriku sendiri, memonyongkan bibir, mengangkat tangan ketas lalu memutar-mutar kepala. Baru ingat, sepertinya tadi malam aku bermimpi indah. Aku kesana, aku kesana menemuinya. Entah bagaimana caranya tiba-tiba aku sampai disebuah danau yang kata orang-orang yang sudah pernah kesana itu adalah Ranu Kumbolo. Tapi aneh, dalam mimpiku danau itu sepi. Yang kuingat tidak ada orang selain aku, aku berdiri memandang danau tersebut. Dalam kehidupan nyata danau ini menjadi magnet manusia untuk mengunjungi Semeru, tetapi dalam mimpiku hanya aku sendiri. Kemana orang-orang yang biasa mencuci nesting diatas airnya? Yang buang hajat semaunya? Apa mereka sudah melakukan pendakian untuk menuju Mahameru?, tidak kutemui sampah sedikitpun, Ranu Kumbolo dalam mimpiku begitu tampan. Seperti sosok laki-laki hitam manis berhidung mancung yang sedang berdiri gagah melawan matahari, menciptakan bayang yang indah. Aku sendiri. Dimana kawan-kawan setia yang biasa ada didepan dan belakangku ketika melakukan pendakian, tawa mereka yang khas menimbulkan kesan rindu dan ingin lagi naik gunung. Mereka yang telah mendahuluiku menemui Mahameru, tidak ada. Kemana mereka dalam mimpiku? Aku benar-benar sendiri. Apa karena tadi siang aku sempat berujar, “Lihat saja, aku mau soloist Mahameru” kataku. Kata orang-orang, itu Ranu Kumbolo dulu airnya jernih sekarang sudah butek. Dulu airnya bisa digunakan untuk minum sekarang sudah banyak kotoran manusia mengambang. Coba saja aku sudah kesana, kuceritakan detailnya. Sabar yah.
Aku mendekat, merasakan airnya lalu dalam mimpiku aku menangis. Kenapa aku menangis? Apa karena sebelum tidur sempat menangis sebentar lalu terbawa mimpi dengan mudahnya? Ah jelas tidak, dalam mimpiku aku menangis ketir merasakan sakit pada bagian dada. Oya, sebelum tidur dengan berbekal headlamp aku sempat membaca buku yang menceritakan pendakian gunung Kailash, yakni gunung suci umat Hindu di Tibet. Mereka kesana untuk berziarah, ada yang sampai merangkak, dan merupakan suatu kebanggan ketika mereka meninggal dunia di gunung tersebut. Ah, dadaku kembali sesak. Apa ini rindu yang terlalu manja sampai menguasai hatiku dan menjadi stimulan paling ampuh untuk menciptakan air mata.
Pedih juga. Tidak ingat bagaimana mimpi itu berakhir, tetapi aku ingat ketika aku merebahkan tubuhku ditas tanahnya, lalu memandang langit. Entah. Mimpi yang indah sekaligus aneh, bukti kalau rindu memang barang tak kasat mata yang pengaruhnya sangat nyata sekali pada manusia. Jadi ingat kata Kurniawan Gunadi, “Jarak itu memperbaiki apa yang disebut rindu , pertemuan itu memperbaiki apa yang dinamai ragu”. Mungkin sebaiknya aku harus bertemu denganmu, tunggu yah kuselesaikan dulu urusanku. Ah, Mahameru dan Ranu kumbolo yang kata orang-itu aduhai, kapan ya kita bertemu. Kata orang, itu Ranu Kumbolo. Kata orang, bukan kataku.

Komentar

Postingan Populer